Kala Rumah Mereka Musnah

| Mei 21, 2009 | Sunting
Semut geni. Gambar dari flickr
Dulu, waktu aku kecil (entah berapa tahun yang lalu, tetapi yang pasti sekarang aku belum juga genap berkepala dua), ketika sedang ada waktu ikut Simbah bekerja di sawah, aku sering jengkel terhadap semut geni (semut api). Dengan mengeluarkan butiran-butiran kecil lempung kering atau setengah basah dari dalam tanah, mereka membuat sarang dan ruang yang nyaman untuk berkembang biak. Tidak jarang, butiran-butiran lempung itu membentuk beberapa gundukan serupa kuil ataupun labirin, seolah mereka tengah membangun rumah, tempat ibadah, dan medan permainan mereka sendiri.

Siallah para juru tani atau orang yang tak menyadari keberadaan semut geni itu.

Gigitan mereka membuat kaki panas dan gatal-gatal. Gigitan mereka membuat kaki menjadi panas dan gatal-gatal. Kita bisa saja mengabaikan efek gigitan semut itu kalau hanya seekor-dua ekor. Namun, karena gerombolan, serangan mereka sungguh mengganggu dan menyusahkan. Dulu, begitu tergigit atau diserang, tindakan pertamaku adalah membanting kaki keras-keras agar terbebas dari semut-semut itu. Setelah tersisa satu dua, aku berlari ke parit ataupun kubangan air dan kemudian mencelupkan kaki yang tergigit ke dalam air. Selain bias meredam rasa gatal dan panas, air bias membuat semut melepaskan gigitan mereka.

Ketika itu, aku tak begitu menyadari arti penting smeut geni. Bagiku mereka hanyalah binatang pengganggu yang sama sekali tak berfaedah sedikitpun. Pekerjaan mereka kalau tak menggigit orang tentu saja membangun gundukan-gundukan entah untuk apa. Kenapa binatang seperti itu diciptakan dan ditempatkan disawah kalau hanya akan mengganggu petani? Demikianlah pikirku saat itu. Mereka sama mengganggunya dengan tikus, ulat, burung bondol dan emprit, serta hama-hama perusak tanaman lainnya.

Aku belum tahu kalau perilaku mereka yang membuat sarang di dalam tanah dengan mengeluarkan butiran-butiran lempung itu adalah tindakan untuk menggemburkan sawah. Itulah yang kudapat dari pelajaran Ilmu Alam pertamaku di bangku kelas tiga esde. Lewat cara itu kandungan oksigen dalam tanah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam masa pertumbuhan dan perkembangan akan terjamin. Mereka juga punya kontribusi dalam mempercepat penguraian benda-benda mati.

Lalu apakah bedanya tindakan mereka dengan pekerjaan para petani yang membajak dan menggemburkan tanah? Para petani itu membalik dan menggemburkan tanah agar bibit tanaman yang telah mereka semai menjadi siap tumbuh dalam kondisi yang cukup dengan bahan-bahan organic dan ruang-ruang udara dalam tanah.

Barangkali itulah yang menjadi penyebab mengapa para petani tidak mau memusnahkan keberadaan mereka. Bersama dengan ular sawah, ikan gabus, lele, dan belut mereka melakukan kerja sama alamiah untuk melestarikan baik keanekaragaman dan keseimbangan hayati di ekosistem persawahan. Dengan mengabaikan pengaruh buruknya yang tidak begitu besar, para petani itu mendapatkan bantuan besar, para petani itu mendapatkan bantuan tak langsung dari alam untuk kesuburan tanah meraka. 

Inilah mungkin yang kemudian kita kenal sebagai kearifan lokal, suatu hubungan timbal balik yang tak langsung bisa diketahui oleh semua orang. Hanya mereka yang telah bergulat lama dengan dunia merekalah yang awas terhadap berbagai hubungan timbal balik semacam itu. Sehingga dapat menentukan pola hubungan macam apa yang harus mereka perankan. Namun, fenomena tahun-tahun terakhir ini mengusikku. Aku menyaksikan betapa semakin banyak koloni semut yang eksodus ke sekitar area permukiman penduduk. Mereka menggangsir tanah tidak hanya di luar, namun juga di dalam rumah, termasuk di antaranya di lubang sela-sela tegel rumah. Keberadaan mereka sungguh sangat merepotkan, teutama bagi anak-anak kecil. Dalam jangka panjang. Keberadaan mereka juga akan mempengaruhi daya tahan lantai dan rumah.

Mengomentari perpindahan habitat semut geni ke tempat tinggal penduduk, Simbah hanya dapat berdecak dan berkata, “Tentu saja mereka pindah ke desa, sawah sekarang sudah penuh pestisida dan obat-obatan kimia. Semut tidak tahan dengan semua itu, maka mereka mencari tempat tinggal baru yang belum tercemar bahan kimia.”

Yah, benar memang. Dulu waktu saya kecil pestisida memang masih sangat jarang. Sawah belum banyak tercemar oleh obat-obatan kimia. Sekarang, semua orang hamper mustahil bercocok tanam tanpa menggunakan pestisida dan obat-obatan kimia.

Aku jadi teringat dengan masuk dan mengamuknya gajah, harimau, babi hutan, dan binatang-binatang liar lainnya di Sumatera ke tempat tinggal manusia. Bagi binatang, yang hanya mengandalkan naluri mempertahankan diri dari kepunahan, berpindah hidup adalah solusi paling utama ketika lingkungan tempat mereka hidup telah rusak.

Fakta ini mengajak kita untuk merenungkan betapa pentingnya kita, manusia, untuk hati-hati dalam memilih teknologi yang akan kita pakai. Sikap kritis dan kebijaksanaan dalam penggunaan teknologi itu bukan hanya mencegah bahaya kepunahan spesies-spesies yang da di alam. Namun juga menghindarkan bumi dari bahaya yang jauh lebih besar. Dan secara tak langsung: menghindari kepunahan manusia. Telah banyak kisah kepunahan spesies makhluk hidup di bumi ini karena ulah kita dalam menggunakan berbagai obat kimia berbahaya secara serampangan.

Kini, masalah demi masalah menghantui masa depan kemanusiaan kita justru karena kecerobohan kita sendiri di masa lalu.Semut geni itu paling tidak telah memberikan pelajaran berharga kepada kita dalam bentuknya yang sederhana. Apakah kita baru akan belajar kembali menata hidup setelah beroleh bencana yang lebih besar semacam Lumpur Lapindo dan jebolnya Situ Gintung?

Balasan

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine