Taman Sepak Bola

| Mei 26, 2009 | Sunting
Tolak rasisme - timnas Inggris dan Portugal
Kawan, tahukah kamu makna tiruan suara monyet dan lemparan pisang di stadion-stadion Eropa? Betapa memedihkan. Itulah cara orang-orang (baca:penonton) sok putih untuk menunjukkan perjalanan sejarah sikap hegemonik atas manusia yang lain.

Padahal, ilustrasi sikap dasar antirasisme ini tak akan pernah tergerus zaman. "Taman dengan warna-warni bunga, betapa indahnya." Tak ada bunga penguasa, tak ada bunga pendominasi rona, tak ada nuansa kecuali kehijauan yang membangun latar. Kuning-merah-putih-ungu-jambon-dan seterusnyalah yang mewartakan kesanggupan hidup bersama, seperti ajaran "multikulturalisme" bunga bengkerih yang tumbuh di jurang-jurang tepian hutan, mawar yang kaya warna, atau kamboja dengan triwarnanya: putih-merah muda- kuning.

Alam telah mengajarkan hakikat perbedaan dengan kekayaan kearifan lokalnya. Manusialah yang terkadang menotak-atik ide untuk bereksplorasi tentang hagemoni. Bahkan abad 21 ini masih saja ditandai oleh semangat menguasai. Kampanye "say no to racism" di stadion-stadion sepak bola bukankah hakikatnya menggambarkan keakutan sikap rasis memang diakui di benua biru yang merasa terdepan dalam peradaban itu?

Bintang Barcelona asal Kamerun, Samuel Eto'o pernah mutung dalam sebuah pertandingan karena setiap menguasai bola selalu ditingkahi dengan koor suara monyet. Begitu pula rekan senegaranya, kiper Ali Khameni yang memperkuat Espanyol, terisis hatinya demi membaca spanduk hinaan, "Kutunggu kamu di bawah pohon pisang." Pelatih tim nasional Spanyol, Louis Sragones entah sadar entah tidak juga pernah mengumpat Thiery Henry untuk memotivasi pemainnya, Jose Antonio Reyes, "Kamu tidak kalah dari si hitam jelek itu."

Hinaan, cercaan, sindiran, dan ungkapan sinis masih terus muncul di lapangan bola. "Jagad besar" universal penghormatan hak asasi manusia seolah-olah tidak menembus "jagad kecil" yang seharusnya terdepan dalam aktualisasi sportifitas. Pengakuan tentang kehebatan pemain kulit berwarna masih dibalut hipokritas penerimaan. Padahal bukankah George Weah telah lengkap membuktikan meraup penghargaan sebagai pesepak bola terhebat pada 1985, pemain terbaik Afrika, terbaik Eropa, dan terbaik FIFA ketika memperkuat AC Milan? Begitu juga pembuktian trio Brazil Ronaldo, Rivaldo, dan Ronaldinho.
***
Waktu juga yang mencetak pengakuan-pengakuan tentang"kebutuhan" kontribusi mereka dari mereka yang bukan "bule". Sejarah mencatat kehebatan klub-klub bola basket di NBA bersama Kareem Abdul Jabbar, Maggic Johnson, Hakeem Olajuwon, Michael Jordan, Kobe Bryan, atau Denis Rodman. Kepahlawanan Muhammad Ali, Sugar Lay Leonard, Mike Tyson, Evander Holyfied, dan kini Manny Pacquiao menorehkan antitesis hagemoni. Hampir tiap klub besar sepak bola Eropa bergantung pada bakat-bakat Afrika atau para blasteran. Bahkan pemain "asli Perancis" menjadi minimalis di tim juara dunia 1998 dan juara eropa 2000. Serangan politisi ultranasionalis seperti Jean Le Pen tak mempan melawan mainstream opini tentang multikulturalisme itu.

Empat klub semifinalis Champions tahun ini juga menjadi taman yang kaya warna bunga. Manchester United punya Ferdinand, Evra, Brown, Ronaldo, Nani, Anderson, atau Park Ji Sung. Barcelona mengandalkan Henry, Eto'o, Alves, Abidal, Keyta, juga Yayatoure. Manajer Arsenal, Arsene Wanger, sangat memercayai Gallas, Kolo Toure, Walcott, Vela, Adebayor, sedangkan Chelsea bergantung pada Cole, Kalou, Essien, Drogba, dan Anelka.

Fakta kasting teknis itu tentu tidak diharapkan sekedar sebagai "kebutuhan profesional" yang bukan "kebutuhan emosional". Betapa indah menyaksikan Lampard atau Terry mencium Essien ketika merayakan gol, atau Rooney yang berangkulan dengan Ji-Sung dalam kemenyatuan rasa Manchester.

Kebersamaan kawan! Bukankah itu mantra indah betapa manusia sesungguhnya tak dibatasi "warna asasi", kesadaran sebagi sesama penghuni taman multiras? Rasanya pilu menangkap pernyataan nelangsa bintang Kamerun Omam Biyick usai mengalahkan juara bertahan Argentina dalam Piala Dunia 1990. "Ini saatnya kita dianggap sebagai elang, tidak dilecehkan sebagai monyet yang bergelantungan di pohon-pohon pisang."

Ekspresi manifestasi antirasi tak cukup hanya disimbolkan dengan berpelukan ala Teletubbies dalam selebrasi kemenangan. Lebih dari semuanya adalah internalisasi hak dan kewajiban. Jadi seharusnya bukan sensasi ketika Paul Ince atau Sol Campbell menjadi kapten timnas Inggris, lalu Ince menjadi manajer klub di Premiership yang berkulit hitam. Tetapi, realitasnya, mengapa tiap kali terjadi pertikaian, implikasinya kembali ke "warna kulit?"

Suguhan puncak sepak bola Eropa 27 Mei esok di Roma bukan hanya sepak bola atraktif, MU vs Barca, namun juga fakta ketergantungan kepada mereka yang dalam beberapa momen masih saja terpinggirkan.

Tak penting lagi kawan, apakah Eto'o atau Xavi yang berjaya, Rooney atau Anderson yang mencorong. Idealnya para pelaku olahraga memberi contoh tentang keindahan sebuah "taman kehidupan". Dengan warna apapun, manusia dan hakikat kemanusiaanya sama-sama berhak atas "taman firdaus".

Catatan Kang Amir Machmud

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine