Puncak itu Sepi

| Mei 21, 2009 | Sunting
Kurt Cobain ditemukan mati karena overdosis. Drama tragis pun merebak: anaknya tengah bermain di atas dada telanjangnya ketika orang mendapat tubuh kakunya yang terbujur. Ketika itu, bersama Nirvana, dia telah bertakhta di puncak popularitasnya.

Marilyn Monroe pun terbujur kaku saat dia tengah menikmati puncak popularitasnya. Mengejutkan pula mendengar Eric Cantona mengumumkan gantung sepatu saat bersama Manchester United mendulang masa keemasannya. Dan Andrea Hirata pun bilang dia mau berhenti menulis setelah menghasilkan tetralogi Laskar Pelangi. Yang terakhir itu mendapati pembaca Indonesia yang katanya sangat personal, sentimental, dan cenderung emosional bersama seabrek efek lain. Dia merasa tidak nyaman lagi untuk menulis novel, menjengahkan.

Begitu banyak cerita aneh yang selalu melengkapi perjalanan orang-orang sukses di pencak karier. Sukses yang selalu linier dengan keberlimpahan materi. Biasanya, apapun jalur kesuksesan yang diraih manusia, popularitas sering menyeretnya ke dalam ranah yang sama sekali lain.

Sang manusia menemukan dirinya sendiri dalam nuku harian yang aneh. Everything is different. Dan karena tak menemukan hal-hal yang biasa, dia selalu menganggap bahwa apapun tentang dirinya adalah luar biasa. Dengan segalanya itulah dia bisa menentukan sendiri jalan hidupnya. Saat ada orang lain mencoba mendekatinya, dia anggap itu semata angina yang berhembus. Serupa kentut. Dia bersenyawa dengan zat yang tak terdeteksi, beralih rupa menjadi rumus logaritma yang aneh, dan membangun peradaban baru pada pagoda popularitasnya.

Duniapun berubah begitu cepat. Ketergantungan pada media sebagai jalan singkat untuk mencapai popularitas juga tidak terelakkan. Dengan menjadi public figure, seseorang sebenarnya telah dikontrak mati oleh keadaan untuk selalu diakses oleh siapa dan apa saja yang menelingkupinya. Seperti tidak ada lagi ruang pribadibagi dirinya untuk sekedar menikmati hujan atau keramaian jalan raya. Barangkali Andrea Hirata adalah salah satu contoh bagaimana menghadapi popularitas yang begitu cepat. Saya masih ingat ketika ia melancarkan promosi Laskar Pelangi dengan getolnya meski barangkali hanya dibayar dengan sekadarnya. Kini, mengundang dia harus mengeluarkan sejumlah besar uang, setara harga Tung Desem Waringin atau Mario Teguh.

Tak ada yang salah menjadi terkenal. Begitu logisnya seseorang melakukan branding pada dirinya sendiri dalam ranah apapun. Manusia diniscayakan menjadi penjual bagi dirinya sendiri. Dan ketika semakin mencapai puncak, angina yang menerpa pun semakin kencang? Tekanan datang bertubi-tubi dan dibutuhkan sebuah pertanyaan arif untuk menghadapi kesemuan macam apapun.

***
Bisa jadi di tengah menikmati puncak itu, pikiran seseorang juga berubah begitu cepat seiring pundi-pundinya yang kian menggelembung. Popularitas bisa menggiring seseorang ke dalam belantara symbol yang tak terjelaskan. Dan kecurigaan, kejumawaan, atau kesalah tafsiran bisa jadi bada kapan saja. Lalu, dia membangun sebuah kotak besar untuk dirinya sendiri sebagai perlindungan untuk hal yang dianggapnya remeh-remeh. Dirinya menjadi eksklusif tanpa dia sadari. Yang paling celaka adalah ketik semua itu sudah dianggap final, mengalami kenyataan pseudomasterpiece pada karya atau produknya yang laris manis, hingga merasa semuanya sudah tidak lagi yang harus dia ciptakan.

Maka sangat sulit menemukan karya berbobot “masterpiece” lain dari orang-orang yang sudah berada di puncak. Tak ada lagi yang serupa Ayat-Ayat Cinta, Senopati Pamungkas, Jakarta Undercover, Laskar Pelangi. Bahkan mencapai puncak penjualan seperti Extra Joss, Dellasidrex, Diamicron tak akan pernah dicapai untuk ke dua kalinya oleh perusahaan yang sama. What’s up?

Seorang pendaki gunung ketika sudah mencapai puncak yang paling tinggi, tak menjumpai apapun selain sepi. Dan satu-satunya jalan untuk “selamat” hanyalah menuruninya kembali. Di puncak, tak begitu banya oksigen yang akan dihirup kecuali menghisap kesunyian yang berulang-ulang dan seolah-olah tanpa finalitas.

John C Maxwell, seorang motivator legendaries selalu mengolah dirinya sendiri, sehingga dia merasa tidak pernah berada di puncak. Berada di puncak itu sepi rasanya. Jadi, kata dia, sebaiknya Anda tahu mengapa Anda di sana. Atau, pada akhirnya, bila Anda memutuskan untuk mendakinya, Anda harus belajar banyak dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Amir Syarifuddin dan para pemimpin negeri lainnya: bagaimana hidup dalam sepi.

*) tulisan ini dinukil oleh potongan Harian Suara Merdeka, penulisnya tidak diketahui karena ada bagian yang koyak

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine