Pajak Nurani

| Mei 02, 2009 | Sunting
Protes hari buruh
Sebuah notes seorang buruh di awal bulan lima, catatan kusam yang telah berlama-lama menjadi penghuni kolong dipan tentang berapa yang ia dapat setiap bulannya dan berapa yang ia keluarkan kemudian di zaman yang tiadalah mempunyai kepastian. Tentang hutang yang telah menggunung, juga tentang bayaran sekolah sang anak yang telah berbulan-bulan tak dapat terlunaskan. Pun tentang uban yang kian bertebaran, ingatkan tentang berapa lama ia dapat bekerja, menyambung tekad demi keluarga.

Kami yang berarak dari tumpukan-tumpukan pabrik sampai bundaran HI hanyalah ingin piknik bersama menikmati cerahnya langit awal Mei sembari menyapa Tuan : "Sudah lunaskah pajak nurani Anda?"

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine