Candi Asu: Onggokan Bebatuan Kusam di Pelukan Merapi

| Mei 02, 2009 | Sunting
Kepala candi Asu
Sekali waktu, tiadanya salahnya berkunjung ke Magelang dan menjelajahi sebagian desa di Kecamatan Sawangan dan Dukun. Di sana kita akan menemukan pemandangan unik yang jarang dijumpai di daerah lain, yakni keberadaan candi-candi kuno yang tercecer di antara hamparan persawahan dan ladang sayur. Benda-benda purbakala ini seolah menjadi ’’teman sejati’’ bagi penduduk setempat, sembari menggarap lahan pertanian.

Bagi warga setempat, pemandangan semacam itu mungkin dianggap biasa-biasa saja. Tetapi di mata kaum pendatang, yang jarang menemukan hal serupa, tentu pemandangan semacam itu sungguh unik dan menarik. Saya amati, di sepanjang perjalanan bisa disaksikan sisa-sisa bangunan kuno (situs purbakala) yang tercecer di area persawahan milik penduduk.

Yah, Magelang memang laksana ’’negeri’’ bertabur candi. Tidak hanya Candi Borobudur yang tertancap di daerah ini. Di pelosok-pelosok Magelang yang lain masih banyak dijumpai candi-candi kecil peninggalan zaman kuno yang menyimpan data-data kepurbakalaan, seperti halnya Candi Ngawen dan Candi Asu.

Jika dibandingkan dengan Candi Borobudur, kedua candi ini ukurannya relatif kecil, tetapi unik. Di sekeliling situs itu terhampar kebun sayuran yang hijau. Perpaduan antara fisik candi dengan sayur-sayuran membentuk lanskap yang indah dan pemandangan semacam ini jarang ada di daerah lain. Sekali lagi warga sekitar, pemandangan semacam ini mungkin dianggap biasa, tetapi bagi pendatang merupakan daya tarik yang menghibur.

Candi Ngawen dibangun abad ke-8 Masehi sebagai tempat pemujaan umat Buddha. Sementara sekitar 10 kilometer ke arah tenggara dari Candi Ngawen, berdirilah Candi Asu di desa Sengi yang diyakini sebagai peninggalan zaman Hindu.

Bukan Anjing

Ada dua versi tentang nama Candi Asu. Yang pertama karena penemuan Arca Nandi disekitar candi yang pada awalnya oleh masyarakat sekitar di kira anjing atau asu dalam bahasa Jawa.

Namun, dilain pihak ada yang menyebutkan bahwa nama Asu bukan anjing , kata Asu disini berasal dari kata Aswa, bahasa Sansekerta yang berarti beristirahat. Melihat asal katanya, maka candi ini diduga dibangun untuk menjadi tempat peristirahatan . Hal ini bisa jadi benar, karena di dalam candi ini terdapat semacam lubang seperti sumur.

Dan tidak heran juga kalau dulu di sumur ini ada airnya, soalnya lokasi Candi Asu Sengi ini dekat dengan sungai, sekitar 50 meter aja. Walaupun demikian, para arkeolog lebih cenderung menafsirkan istirahat disini adalah beristirahat sejenak dari aktivitas untuk melakukan pemujaan (pemujaan disini ditujukan kepada seorang tokoh tertentu atau arwah seorang raja).

Candi Asu berbentuk bujur sangkar yang terletak ditengah kebun cabai menghadap ke barat dengan ukuran 7,94 meter. Di dekatnya ada Candi Pendem dan Candi Lumbung yang juga kecil. Uniknya di ketiga bangunan candi ini berada dalam lubang berbentuk kotak sedalam dua meter dengan sisi 1,3 meter.

Di dekat Candi Asu terdapat dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I (874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ). Sementara berdasarkan Prasasti Kurambitan I dan II yang ditemukan dekat situs Candi Asu, ketiga candi ini didirikan tahun 869 Masehi. Kedua prasasti ini dikeluarkan Pamgat Tirutanu Pu Apus yang menyebut ketiga bangunan itu sebagai bangunan suci atau Salingsingan.

Di luar data resmi itu, ternyata masih ada keyakinan lain yang membangkitkan rasa penasaran. Dari cerita ’’bisik-bisik’’, bahwa sebagian penduduk di sana meyakini, di dekat candi-candi kecil itu masih terpendam candi lain yang lebih besar dari Candi Borobudur. Entah benar atau tidak. Hanya, ada semacam kekhawatiran bagi warga setempat, kalau candi misterius itu digali, mereka takut kehilangan tempat tinggal.

Yah, akan tetapi terlepas dari mitos tersebut, seperti candi-candi kecil pada umumnya, Candi Asu Sengi tetap saja menjadi candi yang "kesepian" karena hanya ditemani hamparan sawah padi dan ladang cabai. Karena walaupun lokasi situs yang tergolong sempit ini sudah nampak asri karena ditanami oleh berbagai tumbuh-tumbuhan dan ada tong sampahnya. Di lokasi pun sudah terpasang papan nama candi yang menegaskan keberadaan keduanya sebagai benda cagar budaya.

Selain itu, telah dipasang pula kutipan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berisi ancaman hukuman bagi mereka yang merusak atau mencuri benda-benda tersebut. Akan tetapi candi ini kurang populer, mungkin karena belum banyak yang meneliti candi ini ya? Tapi setidaknya semoga candi ini bisa jadi media pembelajaran sejarah bagi siswa-siswi sekolah dasar ada di depan candi.

Simpanan Kearifan

Keberadaan candi-candi kuno di Magelang merupakan kekayaan budaya yang yang menyimpan kearifan. Jika diperhatikan, setiap bangunan candi selalu mendekati aliran sungai. Dan di sekitar sungai itu terdapat tanah yang subur.

Kecenderungan tersebut menandai ada nya peradaban kehidupan manusia yang sudah tinggi karena mereka sudah dapat berfikir secara naluriah dengan hidup selalu mendekati sumber kehidupan yakni mendekati sumber air dan lahan yang subur. Dan lahan subur disini bukanlah sesuatu yang mustahil mengingat terdapat dua alur sungai penting, Tlingsing dan Pabelan, disana yang menjadi sumber pengairan lahan sayur di sekitar.

Kesuburan tanah di sana juga tidak lepas dari aktivitas letusan Gunung Merapi yang mampu menaburi abu vulkanik ke ladang-ladang para petani dalam radius yang jauh. Inilah pupuk alami yang nilainya tidak tertandingi oleh pupuk-pupuk buatan. Di balik kesangaran Gunung Merapi saat meletus atau ’’batuk’’ ternyata menyimpan berkah yang melimpah.

Memang, kalau dicermati, tanah di sana warnanya cokelat kehitam-hitaman, pertanda tingkat kesuburannya cukup tinggi dan cocok ditanami ragam jenis sayuran dan palawija, mulai kentang, cabe, tomat, buncis dan sebagainya.

Ladang sayuran bagi masyarakat lereng Merapi merupakan basis perekonomian warga setempat, di samping sumber-sumber nafkah lain seperti peternakan dan perdagangan umum. Melimpahnya komoditas sayuran bisa dilihat lewat aktivitas keseharian. Setiap hari warga sibuk menggarap lahan dan sebagian menjadi pengepul sayuran.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine