Marsinah: Dongeng Sepanjang Jalan

| Mei 10, 2009 | Sunting
Konon, ia sudah meninggal ketika tubuh ini baru keluar dari rahim mamak, sehingga pantaslah apabila kemudian ku dapatkan cerita dari orang-orang di jalan. Orang-orang di pasar. Orang-orang di kedai makan. Bahkan orang-orang di pembuangan sampah. Tak lepas pula wedaran kata Pak Sapardi Djoko Damono dalam dongengannya berikut ini.

DONGENG MARSINAH

/1/
Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi,ia sangat cermat dan pasti. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.”

/2/ 
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih,lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.”

/3/ 
Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan.Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lengkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi.

/4/ 
Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan —sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan?

/5/
“Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.)

"Apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.”

(Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.)

/6/
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini.
***
Marsinah, lahir di Ngajuk, 6 April 1969. Mati dibunuh 24 tahun kemudian.
Yah, Marsinah, buruh PT Catur Putra Surya (CPS), Sidoarjo, ditemukan tewas di tepi sawah di Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, pada 9 Mei 1993. Pembunuhan aktivis buruh itu diduga kuat terencana secara matang dan melibatkan sejumlah personel militer, polisi, dan aparat hukum lain. Tindakan itu dinilai banyak pihak dilakukan untuk menakut-nakuti para pekerja yang berminat membentuk serikat pekerja dan memperjuangkan nasib mereka secara langsung.

Tidak terasa hampir dua dasawarsa berlalu sejak kematian Marsinah. Selama itu pula pertanyaan demi pertanyaan terus menghantui benak keluarga serta siapa saja yang haus akan keadilan. Sepertinya dalam kasus ini Dewi Keadilan hanya bisa merangkak dan terus meraba-raba. Pedang keadilannya seolah majal serta tidak mampu lagi membabat dan menghalau kabut pekat serta semak belukar yang menyelimuti misteri seputar kematian Marsinah.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine