Indonesia: 64 Tahun

| Agustus 21, 2009 | Sunting
Negeri kita semakin tua, 64 tahun sudah umurnya, dihitung semenjak kita diakui merdeka (walaupun menurutku sampai sekarang negeri ini belumlah merdeka). Lalu apa yang ada di benakmu kawan tentang negeri kita tercinta ini? Apakah negeri yang semakin tua dan renta? Yang serba membingungkan kebijakan pemerintahannya? Sekaligus orang-orangnya? Ataukah negeri asyik yang ibaratnya surga?

Sungguh miris bila mengingat kemarin dulu, sensasi dukun cilik Ponari yang membuat masyarakat histeris hingga antri berkilo-kilo meter hanya untuk menyentuh air yang dicelubkan dengan “batu sakti” dan habis disentuh sang dukun cilik. Pengobatan “normal” sepertinya benar-benar tidak terjangkau bagi masyarakat kita, tarif dokter yang melambung, harga obat yang terus semakin tinggi. Antrean panjang di rumah Ponari adalah bukti tak terbantahkan. Sebegitu banyakkah saudara-saudara kita yang sakit hingga begitu banyak yang ingin berobat? Atau memang masyarakat kita benar-benar “sakit”? Entahlah.

Fenomena di negeri ini sepertinya sudah di luar nalar. Golput haram, Jaipong dianggap pornoaksi. (Haloo.. Kenapa baru sekarang?). Mentalitas bangsa kita yang sepertinya sakit. Tapi betulkah?


Aku tidak ingin tertarik dalam pusaran tak bernalar, aku ingin kita hidup rasional, meski tantangannya tidak gampang.. Aku berusaha untuk menjadi pendengar bagi negeriku, karena terlalu banyak orang yang berbicara. Mendengar dan menyerapnya seperti spon menghisap air, lalu memerasnya untuk mengambil yang baik dan membuang yang busuk. 


Sepertinya sederhana.

Tapi, cobalah kau tengok sekitarmu sejenak, pernahkah kamu menjadi telinga dari orang-orang sekitarmu tentang kehidupan mereka? Adakah tujuanmu bekerja selain hanya untuk mendapatkan gaji tanpa mengenal lingkungan sekitarmu? Atau kamu hanya terjebak target penjualan yang menyebabkan kamu tidak bisa mengendalikan hidupmu sendiri? Menjadi pendengar yang bijak dan tidak berbicara tanpa berpikir, karena sudah banyak orang yang sakit karena mereka terus berbicara tapi tidak ada yang mendengar.

Ayolah, sekali-kali cobalah untuk berbagi dengan orang lain, berbagi waktu dan ruang dengan orang terdekatmu. Bila kamu punya buku, baca dan sebarkan pengetahuanmu tentang buku yang sudah kamu baca. Jika kamu punya ilmu yang berguna, janganlah pelit untuk kau bagi dengan orang lain..


Apalagi?
Berbagi-berbagi-berbagi.
Andai di negeri ini banyak orang punya semangat berbagi, tak akan ada lagi korupsi. Yang kaya berbagi pada yang miskin, yang cendikia berbagi ilmu pada yang kurang padai. Ah, lagi-lagi hanya andai.
***
Yah, 64 tahun sudah. Jika negara ini adalah orang, maka tentunya dia sudah lumayan senja meski belum pantas disebut sepuh, dan kita sepertinya berpredikat sebagai cucu, mungkin anak, yang pasti bukanlah sebaya. Jika negeri ini adalah seorang kakek atau nenek, sebagai cucu sepantasnya kita menaruh hormat pada beliau. Pun jika ia adalah bertaraf ayah atau ibu, sebagai anak, maka penghormatan pun tentu saja masih merupakan haknya.

Semarak perayaannya yang menyeruak di segala penjuru, di gang-gang kecil, di kolong jembatan, di pos ronda, di pasar tradisional pun di pusat perbelanjaan, di jalan raya, di perkantoran, di Senayan (hmm, berapa meter kain merah putih yang dipakai tuk membungkus seluruh pagar “rumah para wakil rakyat yang terhormat” ini) dan menyelusup dalam berbagai perlombaan, yang diikuti oleh segenap khalayak mulai dari batita sampai manula.

64 tahun sudah status merdeka itu ada dalam genggaman. Dahulu kala, pilihannya mungkin hanya dua : Merdeka atau Mati. Dan meskipun “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”, namun tak disangsikan lagi bahwa penjajahan memang masih ada di muka bumi, meski dengan modus ‘terselubung’, sebab dijaga oleh para peri (hwa…)

Tapi kata siapa kita belum merdeka, toh sekarang ini dengan segenap kebebasan kita bisa menulis, berbicara, berlaku sepuasnya, meski kadang ada yang bebas menerobos saja apa yang dinamakan norma dan etika berperilaku, bahkan dengan saena’e dhewe for breaking the rule. (Plis deh. Kalau ada tanda Dilarang Merokok, jangan merokok dong. Kasian orang-orang yand ada di sekitarnya)

Kembali ke topik ---> merdeka atau mati

Apabila kita sebagai cucu / anak yang baik, maka pantas sajakah untuk menghujat, mencaci maki negara yang sudah tua ini, karena tidak memberi kita apa yang kita inginkan? Maka terselip dimana dahulu kata-kata “jangan tanya apa yang diberikan negara untukmu, tapi tanya apa yang telah kau beri untuk negaramu” - Kennedy? Tersembunyi dimana semangat kepahlawanan orang-orang yang telah mendahului kita (Hening cipta… Mulai…) Jika yang kita bisa lakukan kini hanya mencerca, menghina dina segala kebobrokan yang ada, apakah tidak sama saja kita menambah hal yang tidak benar itu dengan ketidakbenaran yang baru ?

Come on, be realistic lah…
Jika kita senantiasa menuntut hak dulu baru kewajiban, maka yang bernama lingkaran kesetimbangan alam itu akan senantiasa berputar mundur ke belakang. Jika yang bisa kita bilang hanya berkata “hal itu tidak benar” tanpa memberi solusi yang benar itu apa, atau bagaimana.

Para abdi negara, yang melakukan pekerjaan sebagai suatu keharusan, bukannya keinginan (ppsst… toh rajin atau TIDAK bakal terima gaji juga). Maka dimana lagi kalimat “kerja adalah cinta, yang mengejawantah”?


Orang-orang sakit, yang menginginkan pengobatan gratis, hmmm, wahai, Apa yang mereka lakukan untuk menjaga diri agar tidak sakit? Menciptakan pola dalam alam bawah sadar mereka bahwa “tak apa jika saya sakit sebab berobatnya bisa gratis”


Orang-orang bersekolah, yang ingin pendidikan gratis, wahai. Apa yang mereka lakukan agar para guru tak mesti bersusah payah untuk mencerdaskan mereka? Apakah mereka belajar? Hwa… hanya segelintir,, termasuk juga aku,, hehe


Tapi sudahlah, masih banyak kok yang bisa kita lakukan, selain hanya menggerutui negara ini, men’tidak-syukuri segala nikmat ini sebab kita tinggal di Indonesia dan menjadi bagian dari Indonesia Tanah Air Beta tercinta ini.


PADAMU NEGERI… KAMI BERJANJI
PADAMU NEGERI… KAMI BERBAKTI
PADAMU NEGERI… KAMI MENGABDI
BAGIMU NEGERI… JIWA RAGA … KAMI ….

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine