Ya rumput, ya suket. |
Secara harafiah, suket dalam bahasa Jawa berarti rumput alias tanaman liar, yang bisa tumbuh di mana saja. Teman abadinya adalah tanah, air, dan siraman cahaya matahari. Ketika tersedia lahan kosong, ketika air dan cahaya matahari membelai benihnya penuh kasih, maka suket pun akan tumbuh dan berkembang sebebas-bebasnya. Bahkan, ketika ada tangan-tangan jahil membabati tubuh kurusnya, maka ia tidak akan pernah putus asa dan mati kekeringan. Tapi, ia akan bangkit kembali dan mencoba menjangkau langit. Pada hakekatnya, ia tidak membutuhkan pot atau vas. Ia juga tidak membutuhkan rumah-rumah kaca untuk melindunginya. Tempat seburuk apa pun akan menjadi surga baginya. Tekadnya hanya satu, ia hanya menunjukkan identitas kefloraannya. Sehingga, warna hijaunya mampu memberikan “warna” bagi sekelilingnya.
Suket adalah perlambang kesabaran. Dengan hakekatnya yang selalu di bawah dan dianggap tanaman liar, ia harus tetap teguh menyambut embun di pagi hari. Ia harus tetap tabah menerima hangat matahari. Dan, ia juga harus tetap pasrah, meski tubuhnya diinjaki oleh makhluk atau benda di atasnya. Ia tidak perlu mempedulikan kehadiran anggrek yang berbinar-binar di sekitarnya, lantaran senantiasa dirawat oleh pemiliknya. Karena ia percaya, anggrek tetaplah anggrek. Hakekatnya adalah tanaman benalu.
Ia juga tidak perlu mempedulikan keberadaan pohon jati. Karena, kodrat memang membentuknya menjadi pohon terperkasa. Kesederhanaan raga membuatnya harus sadar bahwa ia memang di bawah keperkasaan sang pohon jati. Dan, buah dari kesabaran itu adalah rasa syukur nan terhingga atas limpahan rahmat dan hidayahNya.
Suket merasa bersyukur. Karena, dengan keterbatasannya, ia masih mandapatkan belaian embun dan hangat matahari pagi. Dengan kesederhanaan fisiknya, ia begitu mudah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Artinya, Yang Mahamengatur memang melimpahkan perlindungan dan perawatan nan tak terkira untuk kelangsungan tumbuh dan kembangnya. Karena itu, ia harus terus bersyukur dengan kodratnya sebagai tumbuhan rendahan. Ia juga harus tetap bersyukur atas predikatnya yang identik dengan kekumuhan dan ketidakteraturan. Ia juga mesti bersyukur karena terus-menerus menerima terpaan alam dengan panas atau hujan.
Ia tidak serta merta menjadi lunak laksana wortel yang digodok di dalam wajan berisi air panas. Ia juga tidak dengan otomatis menjadi keras laksana telur yang direbus di dalam kuali. Ia tetap rangkaian rumput, yang berkeinginan menghijaukan sekelilingnya. Prinsifnya adalah memberi dan terus memberi, tanpa berpikir soal pamrih.
Pada tahap berikutnya, suket pun akan memperlihatkan kepasrahannya yang sempurna. Ia berbuat tanpa berpikir pamrih. Tapi, semuanya dilakukan atas nama keridhaan dan keikhlasan. Karena itu, jika dikaitkan dengan hasil atau imbalan, maka ia pun memasrahkannya kepada Yang Mahamemberi. Singkatnya, ia telah berhasil melampaui tahapan be yourself dan know yourself – tahapan “menjadi diri sendiri” dan “mengenal diri sendiri”. Ia memang telah menjelma menjadi sosok yang “ingin selalu memberi” atau berada dalam tahapan give yourself.
Dalam terminologi psikologi, khususnya menyangkut pengenalan potensi diri, dikenal tiga tahapan itu. Be yourself adalah tahapan awal seseorang untuk menjadi diri sendiri. Tahapan ini menuntutnya untuk berjuang memahami keberadaan dirinya atau aktualisasi, lalu membangun keyakinan tentang keberadaan dirinya itu. Diri pribadi yang mandiri, yang tidak tergerus pengaruh, yang tidak tergoda menjadi orang lain, apalagi mengekor nama besar orang lain. Ia tidak merasa kecil karena keterbatasannya. Ia tidak rendah hati dengan kekurangannya. Karena, ia merasa yakin, ia akan menjadi “seseorang” dengan menjadi dirinya sendiri itu.
Keyakinan yang telah terbangun itu, pada akhirnya akan mengarahkan diri untuk makin mengenal diri pribadi yang sesungguhnya. Know yourself. Siapa sesungguhnya diri ini? Bagaimana plus-minus yang ada di dalamnya? Atau, apa kelebihan dan kekurangannya? Bagaimana potensi untuk berkembang dan menapaki seluruh kehidupan ini? Sesungguhnya, yang paling mengetahui diri pribadi ini adalah kita sendiri dan Yang Mahapencipta. Karena itu, kejujuran pikiran dan kejernihan hati akan menghadirkan jawaban terampuh untuk mempertanyakan diri kita yang sesungguhnya.
Puncak dari pembangunan identitas untuk menjadi diri sendiri dan memahami diri pribadi itu sendiri adalah give yourself. Saatnya untuk berbagi. Senantiasa berbagi. Kebajikan dan segala kebajikan. Diri pribadi yang sudah terbangun dan tercerahkan memberikan kesadaran baru bahwa ia adalah kepanjangan tanganNya. Ia adalah utusanNya untuk menebar kasih sayang sebagai pengejewantahan sifat rahman dan rahimNya.
Dengan kepasrahan yang sempurna itu, maka tergambarkanlah kenyataan bahwa suket merupakan perlambang kepasrahan diri atau tawakal. Kata “tawakal” cenderung lebih popular untuk menggambar pencapaian batin yang telah menyerahkan segala situasi atau masalah sebagai keputusanNya.
Pada satu titik, di mana perjalanan rohani tersebut makin menguat dan melahirkan tekad untuk terus beristiqomah menjalankan ketawakalan itu, maka suket akan memperlihatkan bagian bangunan hatinya yang lain. Yakni, kesediaan diri untuk mengatur jarak dengan persoalan-persoalan duniawi. Intinya, menghindari hawa nafsu yang selalu mendorong dan merongrong keinginan. Pada bagian ini, suket telah bermetamorfosis kembali sebagai perlambang kezuhudan.
Ibarat potongan-potongan sebuah bangunan; bersabar merupakan pondasi, bersyukur merupakan dinding, bertawakal merupakan atap, dan berzuhud merupakan pintu dan jendela. Kelak, penutup lubang-lubang itulah yang akan menyaring benda apa pun yang masuk ke dalam bangunan tersebut. Kebaikankah atau keburukankah? Maka, pintu dan jendela yang menjadi penyaring atau penyeleksinya. Bahkan, sekaligus penghalang, bila benda itu tidak pernah kita kehendaki.
Lalu, bagaimana dengan perlengkapan atau isi di dalam bangunan itu?
Bangunan yang kosong tentu saja belum menjadi rumah ideal bagi pemilik atau penghuninya. Pondasi yang kokoh, dinding yang tegar, atap yang kuat, serta pintu dan jendela yang keras, jadi belum memberikan kenyamanan, bila bangunan itu belum memiliki isi. Maka, pemilik atau penghuni bangunan pun akan berbelanja atau bersabar untuk mengumpulkan uang, agar bisa mengisi bangunan yang masih kosong itu.
Perjalanan batiniah yang telah semakin menjauh, tentunya perlu diimbangi dengan penyerahan diri secara penuh kepada Yang Mahakaya. Berserah diri atau bertaslim menjadi perlengkapan rumah tangga, yang akan menyemarakkan bangunan tersebut. Sekaligus, membuat kehidupan berlangsung dengan sempurna bagi pemilik atau penghuninya.
Dengan demikian, suket pun bisa menjadi keyakinan bahwa ia merupakan perlambang penyerahan diri secara penuh kepada Yang Mahamemberi. Setiap detak waktunya hanya untuk beribadah dan berzikir. Setiap hembusan nafasnya hanya untuk membagikan kebajikan untuk sekelilingnya. Sehingga, aura atau energi kemuliaan itu pun tersebar secara merata ke suket-suket atau tanaman lain.
Di setiap lingkungan, pastinya ada yang menjadi pohon jati, anggrek, dan juga rumput. Silahkan saja menebak-nebak, Anda menjadi bagian dari kelompok apa. Dan bila saat ini kita termasuk komunitas suket, ada baiknya tidak buru-buru berpikir menjadi anggrek, melati, mawar, apalagi pohon jati. Biarlah kita tetap menjadi rumput.
Suket diperhitungkan oleh tumbuhan lain karena daya tahannya yang luar biasa. Karena, ia bisa hidup dan berkembang dalam kondisi apa saja. Di lapangan golf atau sepakbola, rumput mendapat tempat terhormat. Bahkan, dalam film anak-anak “Teletubbies”, rumputlah yang membangun keindahan tempat bermain Tinky Winky dan kawan-kawan. Artinya, masih ada porsi mulia untuk para suket.
Dengan posisi “sadar diri” itu, kita harus mengambil ancang-ancang untuk bangkit dan tidak membiarkan diri tertinggal jauh “peradaban”. Apalagi, bila keadaan itu membuat kita terkucil di tengah gemerlapnya pesta. Sebaliknya, bangun kembali semangat dan optimisme, untuk menghijaukan sekeliling kita. Jadikan dongeng suket di atas sebagai inspirasi. Pahami tahap-tahap pembentukan jati diri dan pendirian bangunan hatinya. Lalu, segeralah melakoni perjalanan batin itu dengan kelapangan pikiran dan kejernihan hati. Tapaki kehidupan baru dengan lebih bergairah. Sehingga, masa depan yang lebih cerah bisa songsong dengan penuh kegemilangan.
Syaiful Halim
Balasan