Tangan-tangan Kokoh yang Telah Hilang

| Agustus 09, 2009 | Sunting
Siang itu, sepulang sekolah, telah kutemukan dahan-dahan pohon munggur besar itu dalam potongan-potongan kayu kecil di halaman. Sementara daun-daunnya sudah lenyap. Kiranya para tetangga telah memintanya untuk pakan ternak. Sedangkan beberapa orang saudara masih sibuk menggergaji potongan dahan-dahan besar. Beberapa lainnya menghilangkan kulit kayu agar nantinya bisa cepat kering.

Yah, itulah awal yang pahit bagiku. Dahan-dahan besar nan rimbun yang menaungiku selama bertahun-tahun, bahkan pohon itu telah ada sebelum diriku ini lahir, ternyata pada akhirnya nasibnya harus berakhir begitu saja sebagai kayu bakar. Yah, “gawe mantu” Pakde telah memaksaku kehilangan tangan-tangan raksasa yang selama ini mengirimkan sejuk ke dalam hari-hariku.

***

Masih lekat dalam ingatanku, suatu malam di hari yang telah lau. Umurku kira-kira baru sekian tahun waktu itu. “Pohon besar itu adalah jelmaan raksasa jahat yang sewaktu-waktu akan kembali ke wujudnya bila kamu nakal. Ia akan menangkap anak-anak nakal yang suka menangis di waktu malam. Ataupun anak-anak yang tidak mau makan. Lihatlah, tangan-tangan besarnya akan menangkap dan memeluk kamu kalau kamu susah makan. Kamu mau?” Begitulah ibu mendeskripsikan raksasa besar itu untuk memaksaku agar mau makan. Dan kenyataannya kemudian aku mau makan. Dan begitulah, bertahun-tahun pohon munggur itu tetap menjadi raksasa penunggu halaman rumahku yang sewaktu-waktu akan bangun untuk menangkap anak-anak yang nakal. Sehingga membuatku untuk selalu berkelakuan manis dan tidak lagi bandel.

Di lain waktu, ibu berkata pula, “Kau harus manjaga dan merawat raksasa tidur itu. Jangan samapai ia marah dan kemudian pergi. Semua orang akan kalang kabut kalau sampai ia terbangun dan marah. Ia akan menyerap sumber-sumber mata air hingga kamu tidak bisa mandi. Tidak bisa minum.” Aku diam sejenak, hingga kemudian bertanya, “Raksasa itu belum pergi, ia juga tidak marah. Namun kenapa setiap tahun air tetap saja pergi Bu?” “Ssstt… Dengarlah, raksasa penunggu rumah kita memang tenang-tenang saja. Namun lihatlah raksasa-raksasa di tempat lain. Orang-orang telah merusak dan menebangi mereka, padahal ddi kaki-kaki raksasa yang besar-besar itu tersimpan air. Sehingga jangan ditanya kalau ada kalanya air menghilang. Bayangkan saja kalau sampai semua raksasa musnah dari muka bumi ini, mungkin bumi kita akan menjadi gurun yang panas. Kamu tak bisa lagi mendapatkan air dengan mudah. Badanmu akan menjadi bau, kering!!!”

Itulah yang kemudian membuatku takut untuk melakukan hal-hal yang kiranya dapat membangunkan raksasa yang tengah tidur itu. aku seolah menghormatinya seperti aku menghormati para tua. Setiap kali melewati kaki pohonnya ku bungkukkan punggungku sedikit. Begitulah, kulakukan terus hingga ku mengerti apa maksud ibu dengan raksasa itu. Yah, dapat kau bayangkan persepsi seorang anak yang belum banyak asam garam kala itu.

Raksasa itu juga yang menaungi aku dan teman sepermainanku seharian selama kami bermain gundu. dan diam-diam kusebarkan apa yang dikatakan oleh ibu kepada mereka, sehingga tak ada seorangpun dari teman-temanku yang berani berbuat hal-hal yang aneh kepada "raksasa tidur itu". Pernah satu waktu, seorang temanku tanpa sengaja kencing di balik pohon besar itu. Sontak setelah mengingat apa yang pernah aku katakan, ia cuci batang pohon itu hingga bersih. Hehe, lucu memang. Tetapi baru kemudian ku tahu bahwa mitos yang dikatakan ibu memang benar. Pohon adalah penampung air dalam tanah yang akan terus menjaga siklus air sehingga pada musim-musim jarang hujan sumur tidak akan kehabisan air karena masih ada stok di dalam tanah berkat manfaat pohon.

***

Namun, kini raksasa itu telah takluk pada gergaji-gergaji mesin yang mengoyak tubuhnya dan kemudian memotongnya menjadi potongan kecil. Tak ada yang tersisa dari tubuhnya yang sedari dulu ku hormati. sama sekali tidak. Tangan-tangan kekarnya seolah hanya diam saja, menerima yang telah orang-orang lakukan atas dirinya.

Yah, kini aku hanya bisa berharap, raksasa itu tidak benar-benar marah seperti yang dikatakan ibu. dan hanya doa yang kini tiap hari terus terucap, semoga raksasa itu tak membawa pergi air yang ada diharibaannya. Karena aku tak bisa membayangkan sesulit apa nantinya bila sekarang saja air sudah menjadi barang yang langka di daerahku. Di daerah kering berbatu di sudut utara Gunungkidul.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine