Hari-hari Tanpa Matahari

| September 15, 2015 | Sunting
Jerebu menyelimuti IIUM
Jerebu menyelimuti kampus IIUM
Minggu-minggu belakangan ini cahaya matahari adalah barang mahal di Kuala Lumpur. Selasa (8/9) lalu cahaya matahari bahkan hampir tak terlihat sepanjang hari. Kabut asap begitu tebal, menutupi pandang. Dan kian hari kondisi rasanya kian memburuk. Hari ini sekolah-sekolah di 5 wilayah: Selangor, Kuala Lumpur, Putrajaya, Negeri Sembilan, dan Malaka diliburkan oleh Kementerian Pendidikan Malaysia. Di kampus saya, IIUM, otoritas kampus juga mengumumkan peniadaan kelas untuk hari ini dan esok, 15-16 September.

Hari ini keadaan sedikit lebih terang sebenarnya. Tetapi mata saya terasa lebih pedih dari hari-hari sebelumnya. Sehingga sepanjang pagi tadi saya harus lebih banyak menyipitkan mata.

Kabut asap seolah sudah menjadi masalah tahunan, paling tidak, di tiga negara bertetangga: Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Sebab utamanya adalah praktik pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran hutan biasanya dilakukan untuk membuka lahan perkebunan. Asap menjadi tak terkendali karena pada musim kering seperti sekarang ini, tanah gambut yang memang mendominasi kedua pulau besar tersebut menjadi mudah terbakar. Angin lantas menyebarkan kabut asap tersebut, melintasi batas negara dan wilayah.

Singapura, negara tanpa hutan yang setiap tahunnya terkena imbas, memulai inisiatif pencegahan dan penindakan bencana kabut asap lintas negara dua tahun lalu. Sistem yang diusulkan Singapura akan menggunakan data satelit dan peta konsesi hutan untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Data-data ini juga akan digunakan dalam pengusutan yang menuntut mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.

Sayangnya Indonesia dan Malaysia, dua negara penghasil minyak sawit terbesar dunia, masih enggan memberi akses kepada peta konsesi hutan karena ini berkaitan dengan bisnis besar.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine