Jerebu menyelimuti kampus IIUM |
Minggu-minggu belakangan ini cahaya matahari adalah barang mahal di Kuala Lumpur. Selasa (8/9) lalu cahaya matahari bahkan hampir tak terlihat sepanjang hari. Kabut asap begitu tebal, menutupi pandang. Dan kian hari kondisi rasanya kian memburuk. Hari ini sekolah-sekolah di 5 wilayah: Selangor, Kuala Lumpur, Putrajaya, Negeri Sembilan, dan Malaka diliburkan oleh Kementerian Pendidikan Malaysia. Di kampus saya, IIUM, otoritas kampus juga mengumumkan peniadaan kelas untuk hari ini dan esok, 15-16 September.
Hari ini keadaan sedikit lebih terang sebenarnya. Tetapi mata saya terasa lebih pedih dari hari-hari sebelumnya. Sehingga sepanjang pagi tadi saya harus lebih banyak menyipitkan mata.
Kabut asap seolah sudah menjadi masalah tahunan, paling tidak, di tiga negara bertetangga: Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Sebab utamanya adalah praktik pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran hutan biasanya dilakukan untuk membuka lahan perkebunan. Asap menjadi tak terkendali karena pada musim kering seperti sekarang ini, tanah gambut yang memang mendominasi kedua pulau besar tersebut menjadi mudah terbakar. Angin lantas menyebarkan kabut asap tersebut, melintasi batas negara dan wilayah.
Singapura, negara tanpa hutan yang setiap tahunnya terkena imbas, memulai inisiatif pencegahan dan penindakan bencana kabut asap lintas negara dua tahun lalu. Sistem yang diusulkan Singapura akan menggunakan data satelit dan peta konsesi hutan untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Data-data ini juga akan digunakan dalam pengusutan yang menuntut mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.
Sayangnya Indonesia dan Malaysia, dua negara penghasil minyak sawit terbesar dunia, masih enggan memberi akses kepada peta konsesi hutan karena ini berkaitan dengan bisnis besar.
Hari ini keadaan sedikit lebih terang sebenarnya. Tetapi mata saya terasa lebih pedih dari hari-hari sebelumnya. Sehingga sepanjang pagi tadi saya harus lebih banyak menyipitkan mata.
Kabut asap seolah sudah menjadi masalah tahunan, paling tidak, di tiga negara bertetangga: Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Sebab utamanya adalah praktik pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran hutan biasanya dilakukan untuk membuka lahan perkebunan. Asap menjadi tak terkendali karena pada musim kering seperti sekarang ini, tanah gambut yang memang mendominasi kedua pulau besar tersebut menjadi mudah terbakar. Angin lantas menyebarkan kabut asap tersebut, melintasi batas negara dan wilayah.
Singapura, negara tanpa hutan yang setiap tahunnya terkena imbas, memulai inisiatif pencegahan dan penindakan bencana kabut asap lintas negara dua tahun lalu. Sistem yang diusulkan Singapura akan menggunakan data satelit dan peta konsesi hutan untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Data-data ini juga akan digunakan dalam pengusutan yang menuntut mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.
Sayangnya Indonesia dan Malaysia, dua negara penghasil minyak sawit terbesar dunia, masih enggan memberi akses kepada peta konsesi hutan karena ini berkaitan dengan bisnis besar.