The Fantastic Flying Books of Mr. Morris Lessmore

| September 17, 2015 | Sunting
Entah dari mana saya mengetahui film ini. Tetiba saja unduhannya sudah ada dalam komputer jinjing saya. Memenangkan Oscar untuk kategori animasi pendek, film ini berkisah tentang petualangan Morris Lessmore disebuah kota mati pasca dihantam badai. Morris seolah menghidupkan kembali kota mati ini setelah secara tidak sengaja menjadi tuan sebuah perpustakaan yang berisi buku-buku magi yang bisa terbang.


Menonton ulang film pendek ini saya teringat pada tulisan mas Bre Redana dalam kolomnya di Kompas Minggu, 3 Mei 2015.  Judulnya Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir. Berikut saya tulis ulang renungan yang sangat dalam ini. 

Beberapa kali menerima undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk menggalakkan minat membaca, termasuk kalau tak salah minggu depan di Bandung, saya justru berfirasat: jangan-jangan membaca (buku) akan segera menjadi masa lalu kita? Mengingat adanya kaitan penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori dalam proses evolusi manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan membaca, adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir, menjadi tinggal kenangan?

Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan, kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak. Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”

Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana....

Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter, mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah jadi.

Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan, proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan, hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak sebergegas sekarang.

Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan. Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik, tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.

Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di layar laptop atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.

Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif, interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.

Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru. Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri....

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine