Subuh, karya Pramoedya |
Hari-hari ini nama Pramoedya kembali banyak diperbincangkan. Akhir September memang selalu menjadi semacam momen yang pas untuk membicarakannya, paling tidak sekali dalam setahun. Sumbangsihnya pada susastra Indonesia dibahas lagi, kuranglebih seperti yang saya lakukan ini. Sayangnya, pembahasan seringkali bertumpu pada masa-masa pasca 1965. Masa-masa dimana Pram dipenjara tanpa pernah diadili dan dikirim ke Pulau Buru sebagai orang buangan. Masa-masa dimana mahakaryanya, Tetralogi Buru, lahir.
Tak semua orang senang. Sudah tentu. Di antaranya muncul suara-suara sumbang semacam: keberpihakan Pram pada kaum lemah itu karena ketidakadilan yang dialaminya - belum tentu keberpihakan itu ada kalau Pram sendiri bahagia-bahagia saja sampai akhir hidupnya. Konyol. Yah, suara-suara konyol bagi saya. Kenapa?
Pram bukanlah penulis yang lahir karena tragedi 1965. Ia sudah ada jauh sebelum itu. Dan ini yang sering luput dari perhatian: karya-karya Pram sebelum 1965. Terutama tulisan-tulisannya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Cara gampang untuk membuktikan bahwa Pram memang penulis yang anti ketidakadilan dan penindasan dari sononya.