Kiamat: Sebuah Cerita

| Februari 15, 2009 | Sunting
Menurut kalender Suku Maya, tiga tahun lagi kiamat. Tanggal 21 Desember 2012 tepatnya. Jika Desember kita tulis dalam angka, beginilah jadinya: 21-12-2012. Hanya ada satu 0, yang lain 1 dan 2. Apa artinya? Entahlah. Yang jelas, berita tentang "kiamat" itu membuat si Biru gundah. Maklumlah, 21 Desember itu tanggal lahirnya. 

"Kenapa kiamat pas hari ulang tahunku, kenapa nggak milih hari lain?" protesnya.

Suatu malam, Mama Laurent nongol di televisi dan menjawab pertanyaan presenter tentang 2012 itu kira-kira begini: "Bencana besar mungkin terjadi. Tapi bagaimana persisnya, saya tidak tahu. Bahkan pandangan saya terbatas pada tahun 2012, tak bisa menembus ke tahun berikutnya."

Bakal benar-benar tamatkah dunia pada tahun 2012? Ya embuh juga!

Bersama kami, si Biru nonton acara itu. Tak bereaksi dan berucap apa pun dia. Tapi malam-malam, dia keluar dari kamarnya, mengetuk kamar kami, dan sambil sedikit terisak bilang, "Aku gak bisa tidur..."

"Kenapa?" tanyaku.

"Takut kiamat..."

Hwuaduh! Sangat ingin aku menjelaskan soal 2012 dan Mama Laurent itu, tapi pasti sulit masuk ke pikiran dan hati Biru yang sedang direjam gelisah dan takut itu. Ya sudah, tidur ngumpul seperti pindang di pasar.

***

Lain hari, sepulang sekolah, dia bicara lagi soal kiamat yang kian dekat. Kesempatan itu tak aku lepaskan. Santai aku bilang, "Dulu Mas, waktu Bapak masih SD, ada selebaran 'awas, seminggu lagi kiamat'. Gegerlah orang-orang. Tapi seminggu kemudian, dunia tetap ada. Saat Bapak SMP, ada lagi selebaran soal kiamat. Pak Khotib, guru fiqih Bapak waktu itu, segera lari ke masjid dan bersujud.... Menangis! Tapi ternyata, dunia tetap ada. Saat Bapak SMA, ada lagi selebaran kayak gitu. Jadi, sekarang, tenang aja Mas, kiamat sudah lewat, berkali-kali malah...."

Biru termangu. Entah paham entah bingung. Entik segera menengahi agar (ini sangat mungkin) jawabanku yang "keterlaluan" itu tak tertelan mentah-mentah. "Sesuai dengan keyakinan kita, Islam, kiamat pasti terjadi, Mas. Tapi kapan, hanya Allah yang tahu. Yang penting, selama masih hidup, kita lakukan hal-hal yang baik..."

Aku pun menimpali, "Kalau sudah melakukan hal-hal yang baik, sudah, tenang aja. Mau besok mau 2012 mau kapan pun kiamat itu, terserah Yang Punya Hidup."

Biru manggut-manggut. Wajah keruhnya melenyap, berganti senyum. "Jadi nggak usah takut ya, Buk?"

"Ya nggak perlu wong pasti terjadi kok..."

***

Kemarin, Biru membawa topik itu lagi, tapi dengan gaya yang berbeda, lebih santai. "Kiamat tak kiamat sama aja, yang penting jadi orang baik. Iya kan, Buk?" Entik mengangguk. "Kalau pas kiamat, kita tenang aja ya Buk, nggak usah lari ya? Mau sembunyi juga nggak bisa kan? Yang hancur kan dunia... Mau sembunyi di mana?"

"Ya iyalah..." kata Entik.

Aku berdiri di belakang Biru tapi tak berkomentar sedikit pun. Ingat dosa. Ingat belum banyak melakukan hal-hal yang baik itu...

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine