Kisah Sebuah Biduk Kecil

| Februari 08, 2009 | Sunting
sebuah biduk kecil, mulai berlayar, kembangkan layar di tengah samudera kehidupan. pada awalnya keadaan memang terkendali, setiap penumpang bisa menikmati pelayaran dengan tenang karena pada saat mereka memang masih dapat kompak untuk menghadapi berbagai masalah yang ada.

Biduk kecil
akan tetapi, keadaan tiba-tiba berubah, entah berapa derajat dan biduk kecil itu nyaris karam di tengah perjalanan. badai yang tanpa prediksi datang menghantam biduk kecil yang telah terbiasa dalam buaian ketenangan itu. yah memang tidak sampai pecah berantakan, tapi keadaan sudah gawat darurat.

biduk yang awalnya miringpun mencapai pada puncak cobaan nya ketika ia benar-benar nyaris karam, separuh dari lambung kapal telah masuk ke dalam air. para penumpangpun panik, setiap- setiap dari mereka kemudian menampilkan ego masing-masing untuk dapat selamat.

pendapat pertama yang mencuat adalah, harus ada penumpang yang mau dikorbankan untuk keselamatan penumpang lainnya dengan menceburkannya ke laut sehingga biduk tak lagi over load.

setelah itu? entahlah, mereka bergumul sendiri dalam sebuah perang pendapat dan terus saja berusaha mengeraskan suara mereka agar didengar oleh yang lain. walaupun sebenarnya tiada guna mereka saling menyalak dan menggonggong karena tiadalah yang sempat mendengarkan salakan mereka karena setiap orang sibuk dengan upaya mereka agar aman.

hingga kemudian sebuah suara muncul di antara salak dan gonggong itu.
"kita berangkat dari dermaga yang sama
pada waktu yang sama pula,
dan untuk mencapai tempat yang tidak berbeda.
dan karna itulah kita berada dalam satu biduk.
kalau pada akhirnya kita harus menghilangkan,
walaupun hanya satu dari kita,
kenapa juga dulu kita berani bentangkan layar
dan berangkat bersama arungi samudera?
kenapa juga kalian takut pada badai
sementara tak mungkin tak ada badai di tengah lautan?
saat ini kita hanya mempunyai dua opsi.
kita sampai ditujuan dengan bersama-sama
atau tidak pernah akan sampai di seberang sana.
waktu telah menempa kita arti sebuah kekompakan.
kita naikkan layar bersama-sama,
kita halau buritan bersama pula,
lalu kenapa kini kita tega membuang satu dari kita?
tidakkah ada jalan lain yang dapat...
membawa kita sampai keseberang berbarengan?
tidakkah ada??"
semua diam tanpa kata, tiada jawab. semua membisu, mematung. tetapi... "pastilah ada... yah pasti ada!!!" perlahan kemudian layar kembali terkembang meski dalam rombeng dan compang camping.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine