Senandung Hujan

| Februari 15, 2009 | Sunting
Derai hujan
musim penghujan kali ini, hujan memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan juga rumah sunyinya di kaki sebuah bukit, mengikuti arus sungai, menuju muara bersatu dengan laut, yang selama ini ia rindukan.

mengapa tak menetap ia di tanah kelahirannya, menghuni rumah sunyinya, menetes dan mengalirkan diri? tak terhitung orang-orang yang kehausan disini, tak hanya sawah dan ladang yang menderita, juga relung-relung hati dan jantung orang-orang disini juga telah lama kerontang. lihatlah bibir mereka yang retak, senyum dan bunga-bunga enggan untuk tumbuh, mereka haus, hujan harus kembali dan turun disini.

terkadang, hujan dengan iba hati mengakui kalau berlama-lama di rumah sunyi dan berkeliaran sekitar tanah kelahiran. tidak memberi arti apa-apa. negeri ini, tidak menarik lagi untuk ditinggali dan diresapi. aku ini hujan. begitu cari ia berfikir. mungkin itu sebuah keluahan. atau bisa juga awal pemberontakan. atau barangkali, itulah pengkhianatan...

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine