Tentang Kesetiaan

| Februari 21, 2009 | Sunting
Loro Blonyo - Lambang kesetiaan
Torehan sejarah selalu mencatat cerita-cerita kesetiaan. Sesuatu yang kelihatan mulai luntur dari diri kita sekarang ini, baik itu sebagai pribadi maupun hubungan manusia secara lebih luas.

Kesetiaan kita kepada Tuhan misal, seringkali tergadai oleh rutinitas semu yang membelenggu dari waktu ke waktu, hingga tak ada ruang lagi untuk-Nya. Kesetiaan pada tanah kelahiran juga telah tergantikan oleh kepentingan perorangan atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan umum, politik atau ekonomi. Lihatlah sebagian kekayaan alam negeri ini yang telah dikuasai oleh modal yang sebagian besar keuntungannya masuk ke segelintir orang.

Dalam relasi yang lebih kecil, kesetiaan kita pada teman atau mungkin pasangan hidup terlihat mulai meluntur juga. Banyak yang lupa akan asal-usulnya. Seperti orang bilang, kacang lupa akan kulitnya. Mereka yang telah berada diatas seakan tak mau menengok lagi ke bawah. Mereka lupa akan saudara-saudaranya yang masih berkutat dalam lubang kemiskinan. Padahal, dari situlah mereka juga bermula.

Sementara itu lunturnya kesetiaan antar pasangan hidup, dapat dilihat dari tingginya angka perceraian, banyaknya kasus perselingkuhan dan berantakannya banyak biduk rumah tangga. Memang, mungkin, hidup di era terbuka seperti ini lebih banyak godaannya. Segala hal dan kemudahan dapat kita peroleh. Seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain dengan bebas dan leluasa. Ruang yang makin menyempit ini juga memberikan kelonggaran bagi seseorang untuk berbuat melampaui komitmen yang telah mereka buat.

Perbincangan sesaat bisa meruntuhkan bangunan kepercayaan yang begitu kokoh. Bermula dari saling sapa, saling kenal, saling jalan dan akhirnya berakhir di ranjang. Alangkah mudahnya mereka melepas dan melupakan komitmen, padahal secara langsung itu berhubungan dengan dua hati. Apabila ada satu yang tersakiti, sangatlah sulit membuatnya sembuh kembali.

Melihat hal-hal diatas, saya jadi teringat kisah-kisah tentang kesetiaan nan agung sepanjang zaman, baik itu berupa dongengan, kisah nyata, atau sisi sejarah lainnya. Kesetiaan kepada tuhan, kesetiaan kepada janji, kesetiaan kepada pasangan, kesetiaan kepada kawan, kesetiaan kepada tanah air dan kesetiaan-kesetiaan lainnya. Mereka memegang teguh komitmennya dengan sempurna sampai maut memisahkan dari raga.

Cerita klasik Ramayana salah satunya. Sebuah epos yang memberi pelajaran kepada kita tentang betapa agungnya kesetiaan dalam berbagai bentuk. Kesetiaan seorang perempuan kepada suaminya diperlihatkan dengan indah oleh Dewi Sinta. Ia selalu menjaga kesuciaannya dari Rahwana, raksasa yang menculiknya dan menginginkannya menjadi istri. Berbagai daya upaya dilakukan Rahwana, tetapi Dewi Sinta tetap memegang teguh komitmennya. Ia tetap setia pada Sri Rama, suaminya. Setelah terbebaspun, ia harus mendapat cobaan lagi. Sri Rama ternyata meragukan kesuciaannya. Dan pada akhirnya, dengan tulus ikhlas Sinta rela pati obong sebagai tanda kesetiaan dan kejujurannya pada Sri Rama.

Kesetiaan pada bangsa diperlihatkan dengan gagah oleh Kumbakarna, adik Rahwana. Walau ia berbeda pendapat dengan kakaknya dalam berbagai hal sampai ia diasingkan dari istana tetapi sewaktu negerinya membutuhkan tenaganya ia siap sedia membela. Memang, apa yang dilakukan kakaknya adalah salah. Tetapi ia tidak dapat membiarkan negeri yang telah memberinya hidup hancur oleh pasukan kera Sri Rama. Ia membela tanah kelahirannya, bukan membela tindakan Rahwana. Dengan gagah berani ia seorang diri maju ke medan laga. Banyak tentara musuh kocar-kacir sampai akhirnya ia gugur juga. Gugur dengan nama harum membela bumi pertiwi yang amat dicintainya.

Itu dari masa lalu. Di masa kini kita memiliki Raden Ngabehi Surakso Hargo misalnya. Yah, mbah Maridjan. Kesetiaan kepada Tuhannya, kepada rajanya, kepada lingkungannya dan kepada gunung Merapi yang menjadi tanggungjawabnya. Ia selalu menjaga komitmennya untuk setia menjaga gunung Merapi, apapun yang akan terjadi. Ia tidak akan turun gunung walau Merapi meletus. Ia mengemban amanah HB IX, raja Yogyakarta terdahulu. 

Sewaktu Merapi memperlihatkan tanda-tanda akan meletus, banyak pihak termasuk penguasa, memintanya turun. Ia teguh dengan pendiriannya. Akhirnya Merapi memang meletus tidak terlalu besar. Mbah Maridjan menyerahkan hidup dan kesetiaanya kepada tuhan dan alam Merapi yang begitu dikenalnya. Karena keteguhan hatinya, Mbah Maridjan sangat dihormati dan menjadi anutan banyak orang. Berbagai tawaran menggiurkan datang dari berbagai tokoh politik atau organisasi tertentu untuk ikut di dalamnya selalu ditolak dengan ramah. Bahkan, honor dari iklan jamu kondang yang dibintanginya diberikan untuk masyarakat dan alam Merapi. Sekali lagi, Mbah Maridjan menunjukkan kesetiaannya.

Kepada diri sendiri yang begitu kecil, berpegang teguhlah pada komitmen yang kamu buat. Janganlah mudah goyah. Janganlah begitu mudah melepas komitmen sampai mungkin orang lain yang terlebih dahulu melanggar komitmen yang Anda buat bersama. Semoga kita selalu menemukan solusi masalah-masalah yang kita hadapi.

*) disalin dari tulisan mbah Im, dengan perubahan seperlunya

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine