Apa Salahnya Jadi Anak Punk?

| April 05, 2009 | Sunting
Sekelompok anak tanggung bergerombol di sejumlah sudut SPBU. Pakaiannya kebanyakan hitam, kaos ketat, celana kebanyakan pensil tetapi juga ada yang sepertiga, beberapa di antaranya beranting atau berkalung. Mereka membawa bendera. Entah itu nama grup musik, atau supporter sepak bola. Terkadang rambut mereka dicat berwarna-warni.

Mereka mencegat angkutan terutama truk bak terbuka, atau kalau tidak ya apa saja yang bisa ditumpangi. Yang bikin miris, mereka mencegat ditengah-tengah jalan dengan cari merentangkan kedua tangan. Atau kalau tidak menggunakan tongkat panjang. Kalau beruntung mereka bisa beramai-ramai di sebuah truk tronton yang kebetulan mengisi bahan bakar di SPBU tersebut. 

Tak sengaja aku suatu kali memergoki acungan jari tengah yang mereka tujukan bagi para sopir yang dengan tegas tak memberi tumpangan. Tak hanya itu. Di lain tempat juga ada pemandangan semacam itu. Sekelompok anak tanggung berjalan-jalan menyusuri jalan raya yang panas. Pakaiannya serbahitam identik dengan yang di SPBU. Kali lain ada pemandangan yang jorok. Ketika mereka berada di truk tronton beramai-ramai, dengan tanpa dosa salah seorang dari mereka membuang ingus seenaknya!

Ya, pemandangan ini kini sering terlihat dibeberapa titik SPBU di kota kecil itu, sebut saja X, terutama ketika ada gelaran konser musik. Siapakah anak-anak tanggung itu dan sedang apakah mereka? Barangkali inilah yang dinamakan kaum punker. Kaum yang memuja berbagai kebebasan. Saya tak paham apa yang mereka lakukan. Sekadar bergerombolkah? Sekadar ngaya-wara ke sana kemari dengan tumpangan sebuah truk gratiskah? 

Atau kalau tidak, sering terlihat pelajar —terutama yang masih berseragam putih biru— dengan bangga nongkrong di truk tronton besar. Mereka tidak sedang berpakain punk, tetapi berseragam sekolahan. Mereka beramai-ramai, seolah sedang piknik ataupun sekedar touring dari satu tempat ke tempat lain. Mereka adalah anak-anak yang membolos. Apa yang salah dari munculnya fenomena semacam itu ?

Pencarian Identitas

Inilah potret anak-anak tanggung hari tersebut ini. Penyebutan tanggung disebut karena umur mereka sepantaran anak SMP hingga mereka yang sepantaran dengan saya, awal-awal kelas SMA. Bahkan terkadang ada yang baru SD kelas enam. Mereka mencoba memamer-kan jati dirinya : inilah anak punk jaman ini. Inilah perayaan anak-anak itu hari ini. Disebut perayaan karena komunitas ini adalah komunitas yang militan yang dalam mengungkapkan ekspresi kebebasanya selalu bergerombol dan bersama-sama.

Pentas musik adalah prasyarat utama adanya anak-anak jenis ini. Lihatlah saja sebagai contoh, ketika di Jogja ada konser musik misalnya saja Slank, maka lihatlah di seantero jalanan kota kecil itu jamak muncul komunitas ini. Ataupun ketika ada pentas-pentas musik komunitas mereka sendiri, maka perayaan dengan pakaian-pakaian hitam pun mengharu-biru jalanan.

Belum sampai di sini, sehabis konser usai, barisan anak-anak itupun kembali menyeruak. Terkadang, karena ketiadaan ongkos dan angkutan, mereka jalan kaki sepanjang beberapa kilometer. Kalau kebetulan mereka menemu di sawah dan ditanami jagung, dengan enaknya mereka segera memetik dan memakannya. Kalau kebetulan dipekarangan rumah penduduk ada jambu atau mangga, tanpa dosa juga mereka memetik beramai-ramai dan menikmatinya.

Melihat mereka adalah melihat anak-anak yang seperti kehilangan kegairahan untuk melihat dan menatap masa depan yang lebih baik. Melihat mereka seperti melihat hidup adalah kebebasan dan tanpa keterikatan. Dan kebebasan bagi mereka adalah punk, maka dari itu mereka seperti tak dapat ’’hidup’’ tanpa punk. 

Kegairahan mereka untuk mengekspresikan jati dirinya tak semestinya tersalurkan dalam hal-hal yang kontraproduktif di usia yang masih sangat belia. Pemakluman dan pembiaran orang tua tentang pencarian identitas bagi anak-anak mereka yang ngepunk, adalah bunuh diri perlahan, yang seharusnya bisa dihindari dengan mengarahkan mereka mencari identitas diri yang lebih jelas dan bermanfaat.

Kepedulian orang tua terhadap perkembangan anak-anaknya adalah faktor utama adanya fenomena ini. Pengarahan yang jelas disertai argumen-argumen yang dapat diterima mereka menjadi cara ampuh untuk menyadarkan anak-anak jenis ini.

Perilaku yang baik dan santun yang ditanamkan kepada mereka menjadi kunci yang ampuh, agar mereka juga secara sadar mengetahui akan risiko dan bahaya. Karena mereka adalah anak-anak tanggung, seumuran mereka kebanyakan besar tidak memiliki modal yang cukup untuk rasa tanggung jawab, ketidakmampuan mengenali risiko dan bahaya, dan kesempitan pikiran untuk melakukan sesuatu.

Yah, Tak ada yang salah dengan konser musik. Tak ada yang salah dengan pilihan gaya nge-punk, karena itu hak hidup. Namun yang salah adalah bila mereka sudah mulai mengganggu kenyamanan hidup orang banyak, Yang salah dari mereka, adalah ketika mereka mulai berpikir bahwa mereka hidup sendiri, padahal untuk makan pun mereka masih meminta pada orang tua. Hufft!

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine