Penyamun Lidah Rakyat

| April 05, 2009 | Sunting
“There were so many candidates on the platform there were not enough promises to go round.” 
Pesta Partai - Abbram Wisnuputra
Vox populi, zonder Dei. Mungkin istilah itu yang sekarang tepat bagi fenomena demokrasi Indonesia. Saat demokrasi kian dikuasai kalangan pemilik modal dan disokong secara kuat oleh industri. Uang menjadi instrumen utama–jika bukan satu-satunya–dalam pembentukkan legitimasi politik. Maka logika demokrasi yang berhasil dikonstruksi adalah mereka yang punya uanglah yang akan [bisa] menjadi wakil rakyat. Jargon suci demokrasi, vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, rasanya semakin kehilangan sakralitasnya saat demokrasi kian ditentukan oleh seberapa besar harga yang harus dikeluarkan untuk menjadi seorang wakil rakyat.

Hitunglah jumlah banner dan baliho caleg, bendera dan spanduk partai, dan apa saja yang saat ini dianggap sebagai atribut penting dalam kontestasi demokrasi, lalu konversikan jumlah itu kedalam pecahan rupiah: betapa mahal sebuah demokrasi! Betapa hanya mereka yang cukup uanglah yang bisa menjadi wakil rakyat. Sebab mereka tak bisa hanya mengandalkan “suara rakyat” untuk menjadi “penyambung lidah rakyat”, mereka butuh uang sebagai modal utama—jika bukan satu-satunya—untuk memasang poster, memajang potet diri memenuhi jalan-jalan demi konstituensi massa yang akan mengantarkan mereka ke kursi “wakil rakyat”. Ironis memang, ketika yang bisa menjadi wakil rakyat adalah mereka yang “beruang” besar saja; demokrasi substansial nampaknya masih harus menunggu waktu. 

Percayalah, jalanan yang dipenuhi poster dan baligo berbagai warna dan ukuran itu, yang memajang potet diri mereka yang “sok kenal” dan “cari perhatian” itu, bukanlah sebuah demokrasi. Histeria poster dan atribut kampanye itu hanyalah “polusi visual”! Betapa cerewetnya poster dan baligo caleg, bendera dan spanduk partai, sampai-sampai harus memenuhi dan mengotori jalan! 

Inikah demokrasi? Gebyar panggung politik yang dipertontonkan para aktor demokrasi industrial seperti saat ini, membuat kehidupan politik dipenuhi histeria belaka; panggung kampanye, iklan partai politik, ketegangan semu yang diproduksi hasil survai dan debat kandidat, teks-teks iklan politik yang merebak ke mana-mana, janji-janji politik yang seolah ingin menampung dan memperjuangkan nasib hidup rakyat banyak. Percayalah demokrasi yang tunduk dan patuh pada “logika iklan” bukanlah demokrasi, mungkin itu hanya “iklan demokrasi”, jika tak mau dikatakan sebagai dekorasi.

Namun, dalam medan tafsir yang amat liar, masyarakat yang tunduk pada industrialisme menganggap demokrasi seolah-olah memang poster-poster yang memenuhi jalanan—undangan terbuka yang penuh hiasan untuk menjaring massa sebanyak-banyaknya di hari pemilihan. Sebab yang penting adalah memperoleh simpati massa yang akan menjaminkan konstituensinya di hari pemilihan, berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Masyarakat juga mengamininya. Maka Anda akan akrab dengan ungkapan demokrasi itu memang mahal atau zaman sekarang jadi Caleg butuh modal besar. Juga tak heran jika Anda akrab dengan dialog-dialog berikut ini, “Nomor satu, populer, dana kampanye melimpah, jadi sudah!”, “Caleg A sudah habis 6 Miliar untuk kampanye, menang dia pasti!”, “Caleg B baru 2 Miliar? Berat! Saingannya udah habis 8 Miliar, malah udah nyiapin dana 2 Miliar untuk Serangan Fajar,” “Udah nomornya bontot, modalnya dikit, susahlah dia untuk jadi!”

Itukah demokrasi? Bukan tentu saja. Jawaban sebuah sistem politik demokrasi adalah jawaban atas kehidupan masyarakat yang riil. Bukan slogan kemapanan dan kesejahteraan yang terpampang di iklan-iklan kampanye di pinggiran jalan. Adalah sebuah bencana politik jika demokrasi hanya menjadi keriuhan yang tidak memiliki korespondensi dengan problem hidup yang dihadapi masyarakat. Sistem politik demokrasi mensyaratkan korespondensi antara kepentingan (aspirasi) rakyat dengan suara elitnya. 

Celakanya, saat ini, bukan rakyat yang membentuk elit politik yang akan menjadi wakilnya. Tapi elit-elit menciptakan dirinya sendiri dengan kuasa modal yang dimilikinya lalu berlomba-lomba menjaring massa untuk melegitimasi status politiknya sebagai “wakil rakyat”. Uang tentu saja menjadi modal utama—jika bukan satu-satunya—untuk melakukan semua itu. Sekali lagi, uang. Uang bisa membeli poster dan baligo yang secara tiba-tiba bisa memperkenalkan diri mereka di tengah-tengah publik, uang bisa membeli “suara” yang dibutuhkan mereka sebagai syarat duduk di kursi “wakil rakyat”. 

Bila uanglah ternyata yang mengantarkan mereka untuk duduk di kursi “wakil rakyat”, apakah yang sesungguhnya mereka inginkan setelah jadi “wakil rakyat”? Benarkah mereka akan memperjuangkan hidup kita? Benarkah mereka akan memperbaiki nasib rakyat? Benarkah mereka akan menjadi penyambung lidah rakyat? Rasanya tidak.

Rasanya, merekalah penyamun lidah rakyat!

*) Esai di Ruang Tengah

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine