Namanya Kartini

| April 21, 2009 | Sunting
Ibu kita Kartini. Putri sejati. Putri Indonesia. Harum namanya. Ibu kita Kartini. Pendekar bangsa...
Paling tidak, satu kali dalam setahun kita mendengar lagu tersebut berkumandang di RRI, yah tepatnya saat tanggal 21 April seperti hari ini, sedari pagi lagu yang diciptakan WR Soepratman tersebut telah mengudara. Yah, sebagai sebuah seremoni peringatan Hari Kartini. Namun hanya sebatas itukah peringatan Hari Kartini?? Bagi wanita sendiri, dengan upaya awal Kartini itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan.
***
Tepatnya 130 silam, bayi mungil yang cantik dan montok itu mulai dapat merasakan segarnya udara bumi. Kelahirannya tak terlalu istimewa mengingat ibunya hanyalah garwa ampil dari bupati Jepara saat itu sehingga tak ada sesuatu yang bermegah-megahan saat itu. Apalagi kelahiran seorang perempuan saat itu hanyalah sebuah takdir yang kadang menambah daftar panjang mereka yang tersingkirkan. Perempuan adalah identik dengan sumur, dapur, dan kasur. Yah hanya itu, selebihnya perempuan hanyalah seorang penggembira. Sehingga kelahiran bayi perempuan itu tak ayal hanya menjadi sedikit slentingan kecil di khalayak Jepara. Tiada yang mengira berpuluh tahun kemudian ia akan menjadi seorang perempuan yang dielu-elukan karena telah menggagas emansipasi dan kesetaraan atas kaumnya.
Kartini
Perampasan atas impian-impian besarnyalah yang kemudian membuatnya berontak. Ia direnggut kebebasan masa kecilnya begitu saja selepas ELS (Europese Lagere School) dengan cara dipingit sampai ia memperoleh suami. Padahal, ada impian besar yang sangat ingin ia tuntaskan, yakni sekolah setinggi mungkin. Tapi apa daya seorang perempuan kecil bernama Kartini itu atas kuasa ayahnya yang begitu besar dan juga atas adat kebiasaan atas perempuan masa itu.

Merasakan hambatan demikian itulah, kemudian Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa. Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali. Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang. Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

***
Kartini desa
Lebih dari seabad kemudian, perempuan telah mendapatkan tempatnya meski masih banyka hal yang disunat oleh keadaan. Ratusan kilo dari Jepara, di belantara pegunungan kapur di daerah tandus bernama Gunungkidul misalnya. Perempuan telah dididik untuk bekerja keras oleh keadaan. Mereka mungkin tak pernah tahu siapa itu Kartini, namun nyatanya semangat yang ada dalam lubuk sanubari mereka adalah sebuah lanjutan dari perjuangan Kartini masa lalu untuk menyambung hidup.Kemiskinan bagi mereka bukanlah sebuah musibah yang harus diratapi, namun sebuah semangat untuk berbuat demi kehidupan mereka esok pagi. Tiada yang tahu mungkin bila mereka adalah Kartini-Kartini sejati masa kini yang jauh dari hingar bingar kemewahan dan bertahan dalam kesederhaan, namun waktu telah mencatatan sebagai sebuah kisah perjuangan nan panjang untuk memeperjuangkan kehidupan.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine