Racun-racun Televisi

| April 05, 2009 | Sunting
Lelaki itu, memaki-maki sendiri pada suatu pagi. Saya yang ada didekatnya jadi terperanjat. Dia kesurupan! “Nyebut, Kang.. nyebut”. pinta saya sambil menepuk-nepuk pundaknya. Dia memelototi saya. “Gundholmu! Aku waras, cuma lagi kesel aja”. Bentaknya pada saya. Syukurlah.

Racun bernama televisi
Usut punya usut punya, ternyata bujang cungkring ini tengah membenci televisi. Penemuan fantastis manusia abad ke-20 ini dianggapnya tak lebih dari mobil tinja yang bocor tengkinya. Cuma mengotori saja jadinya. Edan betul, kotak ajaib yang canggih tidak ketulungan itu tidak berarti apapun buatnya. Malah, dikatain sumber kotoran. “Kok bisa gitu Kang?”, tanya saya sembari memeriksa apakah jidatnya anget apa tidak. “Ya liat aja acaranya, sampah! Terutama acara buat anak-anak, puih! Udah kayak racun untuk anak-anak yang polos.” Umpatnya kesal.

“Kebanyakan acara untuk anak-anak di tipi kita, sangat tidak edukatif. Bahkan cenderung destruktif untuk pertumbuhan jiwa yang sehat”. Dia mulai mengurai kekesalannya. Saya nangkring diatas tumpukan kayu didepannya, siap mendengar ucapannya yang terkadang ajaib. 

"Delok wae, masak tontonan buat anak-anak kontes-kontesan nyanyiin lagu-lagu orang dewasa. Apa gunanya? Belum lagi sinetron-sinetron anak yang kelewat bodoh ceritanya. Karakternya pun dibuat hitam putih, jahat ya jahat bener. Kalo baik, kelewatan sampe cenderung naif." 

Saya setuju dengan pendapatnya. "Terus bagaimana tontonan sampah itu sampai mempengaruhi jiwa anak-anak to?”, tanya saya dengan lugu. 

"Respon agresif tu bukan turunan, tapi terbentuk dari pengalaman”. Wah, hebat bener cacing cungkring satu ini. Dia mengutip Albert Bandura, psikolog Stanford. Melihat saya kagum, dia mulai melanjutkan kalimatnya dengan lagak tengik. ”Oleh karena itu, orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan”. 

Sebelum makin menjadi tengiknya, saya langsung menyambar kalimatnya. "Mula kuwi, acara tipi kita yang tidak edukatif itu bisa membahayakan kesehatan psikis anak. Dewasa ini, anak-anak tidak banyak bersentuhan dengan permainan yang komunal, juga bersentuhan dengan alam. Oleh karna itu mereka banyak belajar dan menyerap contoh pengalaman dari tipi.”

Lelaki itu menyambung, "Bener tu, sebuah penelitian oleh lembaga kesehatan mental nasional Amerika menyimpulkan bahwa kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja. Itu artinya, mental anak-anak sangat mudah terengaruh oleh apa yang ditontonnya."

Lalu saya menyimpulkan. "Dan sayangnya, acara tipi kita tidak termasuk jenis yang mendukung pertumbuhan mental anak yang sehat”.

"Berikanlah anak-anak apa yang menjadi kebutuhannya yang alamiah.” ujarnya lagi. "Seperti apa Kang?” tanya saya. 

"Ya mainan contohnya, keinginan untuk bermain itu merupakan sifat natural anak-anak. Berikanlah contoh tontonan yang melibatkan mereka secara psikologis. Kondisikanlah suatu keriangan yang komunal sebagai substansinya, agar mereka pun dapat belajar tentang kehidupan sosial.rangsanglah potensi kreatif mereka dengan permainan, bukan menanamkan sifat konsumtif mereka terhadap permainan."

Dia menutup ucapannya dengan berdiri. Dengan lagak bijak, dia melanjutkan."Bukan maksud membandingkan, karena tidak ada kesesuaian bentuk memang. Tapi apa yang akan ku ceritakan ini masih berkaitan dengan anak-anak. Nah, di Yogyakarta ada sebuah museum mainan anak yang dinamai Museum Anak Kolong Tangga. Ini adalah sebuah inisiatif yang bagus ditengah penetrasi yang kurang sehat terhadap anak-anak, Cuma sayang, yang mendirikan wong Londo, namanya Rudy Corens, warga Belgia.”

Wah, infonya yang tiap hari blusukan ke kota itu sangat menarik minat saya. ”Museum ini berisi mainan anak-anak tradisional Indonesia. museum ini juga dilengkapi dengan ruang bermain untuk anak serta diajarkan pula cara-cara membuat mainan untuk anak-anak. Yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah sebuah inisiatif untuk mendidik anak dengan cara yang sesuai logika dan kejiwaan mereka. Selain itu, juga untuk melestarikan nilai-nilai budaya sebab semakin lama mainan anak-anak khas Indonesia hilang ditelan waktu.”


”Ku pikir Kang, inisiatif semacam inilah yang perlu dicontoh mereka yang bekerja dalam media semacam tipi itu. Hampir mustahil kita mengharapkan lahirnya sebuah nilai-nilai luhur sebagai motivasi dan orientasi dalam membuat acara tipi. Maklum, tipi itu termasuk instrumen teknokapitalis, tipi itu industri padat modal. Tayangan yang mendidik susah dijual, sementara tayangan yang laku dijual seringkali tidak mendidik.” Ujar saya memberi pandangan pada ceritanya. 

Kini, gantian dia yang mendengarkan saya. "Tipi itu Kang, terlalu mengejar rating. Padahal, rating itu tidak mengenal MORAL Kang! Lagi pula,kebanyakan tipi kita masih mengibaratkan penonton bagai kambing congek yang mau saja dikasih makan apa aja. Penonton tidak banyak diberi otoritas dan tidak diberi pilihan, hanya dijejali sampah dan sampah saja. Lalu bagaimana pertanggung jawaban moral dari rating yang lahir dalam kondisi seperti ini?"

Dia manggut-manggut menanggapi uraian saya. "Selain itu Jo, ide-ide dalam membuat tayangan tipi kebanyakan lahir dari anasir-anasir oportunis pemilik modal, orientasinya jelas: cuma profit yang besar dan instan. Maka jangan heran jika ide-ide kreatif dan edukatif dalam tipi kita ibarat palawija yang ditanam dimusim hujan bagi kebanyakan tipi. Karena apa? Karena ide-ide itu dilihat dan dinilai dari kadar ekonomi dan potensi ekonominya saja.” 

Lalu dia menanggapi uraian saya, "Betul itu, maka dari itu, inisiatif seperti Museum Kolong Tangga itu menjadi begitu penting untuk dicontoh. Sebuah inisiatif yang cerdas dan berani mengingat inisiatif itu lahir ditengah perkembangan zaman yang ora mbejaji (tidak keruan)." 

Saya tersenyum gaya Dul Paijo berbicara, "Bener Kang, inisiatif seperti inilah yang akan memicu lahirnya counter product terhadap produk-produk massal yang tidak sehat itu. Sebab, mengharapkan orang sadar dengan sendirinya seperti menunggu Ryan Giggs pindah ke Liverpool.” Dia ngakak mendengar analogi saya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine