Melawan Lewat Mural

| April 17, 2009 | Sunting
Mural Jogja
 Berdoa, belajar dan berusaha
KELILING Kota Yogyakarta, Anda akan berjumpa dengan ragam lukisan dari para seniman kota yang tertoreh di tembok maupun dinding ruang publik. Lihatlah, betapa indah lukisan dengan perpaduan antara goresan tangan dengan seni pop yang terpampang di tiap sudut perempatan jalan. 

Cobalah, ketika jenuh menanti lampu hijau menyala, Anda menoleh ke arah kanan persis di perempatan Jalan Brigjen Katamso, nilai estetika dari sebuah lukisan indah dapat mendamaikan jiwa.Keindahan seni mural memang sungguh memesona. Di tempat lain, seni mural berkembang luas dan menjadi ikon Kota Budaya ini. Alhasil, Yogyakarta pun mendapat julukan baru sebagai kota tempat para seniman mural. Kemarakan seni dengan medium tembok jalanan merupakan fenomena baru abad modern ini.

Di kota besar, Jakarta, Bandung, termasuk Yogyakarta, tren seni mural berkembang cukup pesat. Bahkan bisa dikatakan hampir tiap tembok jalanan Bumi Mataram tak luput dari sentuhan dan perhatian seniman lukis jalanan.Tembok jalanan menjadi tempat atau medium alternatif bagi seniman guna mengekspresikan segala hal yang mereka rasa dan pikirkan. Selain itu, cara ini juga dapat digunakan sebagai wujud pemenuhan kebutuhan akan eksistensi diri maupun komunitas.Tak cukup dengan maksud itu, lukisan tembok juga dapat berfungsi sebagai kritik ataupun sebagai bentuk perlawanan dan alat perjuangan. 

Tengok saja, salah satu lukisan grafiti yang terdapat di bawah Jembatan Lempuyangan. Gambar tersebut menyiratkan pesan akan kritik terhadap para komperadornegeri ini yang tega ’"melelang" Nusantara kepada bangsa lain. Ya, seni pun bisa menjadi alat kritik sosial sekaligus menggugah kesadaran nasional. Seni memang tak bisa dipisahkan dengan realitas kehidupan sosial di masyarakat. Seni juga tidak bisa berdiam jika ada ketimpangan dalam kehidupan. 

Dengan bahasa dan style yang berkarakter, seni mampu berbicara dengan bahasa sendiri. Lukisan di tembok-tembok jalan adalah bukti nyata betapa seni meminjam istilah filsuf John Dewey, tak akan bisa dipenjara dan diisolasi dari ruang mana pun. Para seniman akan terus berekspresi meskipun wahana atau wadah mereka banyak yang hilang akibat ditelan perubahan zaman. Adalah keniscayaan sejarah, bahwa zaman modern kini mulia tak peduli lagi dengan para seniman kota. Peradaban global, diakui atau tidak telah membawa kegersangan serta keangkuhan dengan mengindahkan nilai humanisme bagi yang lain (liyan).

Ruang Kosong

Buktinya, di kota-kota besar hampir tidak ditemukan (lagi) ruang kosong bagi kelompok tertentu untuk hidup. Yang ada hanya tempat kontestasi ekonomi. Dengan kalimat lain, kehidupan di kota metropolitan seakan ingin dikonstruksi layak hukum kapital, aktivitas perdagangan dengan asas untung dan rugi. Mereka mengindahkan habitat lain termasuk kehidupan para seniman Yogyakarta yang telah terusik oleh ekspansi kapitalisme. Malioboro yang dulu menjadi tempat yang nyaman untuk berkumpul para seniman, sebut saja Emha Ainun Nadjib, Ebit G Ade, Rendra, mereka saling bertukar pikiran, berbagai pengalaman, bahkan konon ide atau gagasan cemerlang terlahir dari tempat itu. Tapi kini semua itu hanya tinggal cerita sejarah. Malioboro berubah menjadi pusat perbelanjaan dan transaksi ekonomi global. Di sana sini, pemandangan dan cerita yang terdengar hanyalah jual beli barang. Sungguh ironis. 

Pergeseran peradaban urban yang membawa implikasi buruk pada yang lain, khususnya terhadap seniman lukis.Para seniman, sebagai salah satu komunitas yang "kalah" saing dengan kaum elite kapital pun akhirnya mencoba bertahan di tempat yang masih bersahabat. Demi sebuah eksistensi dan mempertahankan identitas agar tetap diakui, kelompok seniman mural tak kehabisan akal guna menuangkan uneg-uneg, mereka berkreasi bukan lagi di atas kanvas namun di tembok-tembok jalan. Fenomena ini seakan membenarkan tesis sosiolog Maslow bahwa kebutuhan untuk diakui (eksistensi) merupakan urutan teratas dari kebutuhan manusia yang lain. Kontan, belakangan wajah tembok jalan Kota Yogyakarta pun disulap bak kota yang penuh hiasan dan pernak-pernik seni mural. Tak ayal, seni kaum urban itu menjadi merakyat. Di ruang publik, dengan status masyarakat yang heterogen, seni mural bak ’’hidangan murah’’ yang dapat dikonsumsi oleh semua kalangan.

Ikonografi

Jika dahulu seni hanya dapat dinikmati oleh para seniman saja di galeri ataupun di tempat pertunjukkan khusus seni, namun di kota gudangnya seniman ini, Anda sekarang dapat memahami arti seni (mural) atau sekadar menikmati nilai estetika dari lukisan yang terpajang di jalan dengan mudah di Yogyakarta. Seni grafiti menjadi ikonografi baru abad ke-20 di Yogyakarta sebagai simbol ’’perlawanan’’ atas wajah paradoks kota. Satu sisi kota menjanjikan kemegahan, keindahan, dan agung, tapi di lain tempat kota justru tidak bersahabat dengan para seniman.

Ya, seolah senapas dengan semangat perjuangan dan perlawanan melalui seni musik reggae yang dipopulerkan sang empu kharismatik, Robert Nesta Marley (Bob Marley) di Jamaika, seni mural Yogyakarta adalah ikon abad modern dengan bahasa universal sebagai simbol perlawanan dan kebebasan.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine