Bethet Thingthong, Apakah Itu?

| April 05, 2009 | Sunting
Bethet thingthong legendhut gong. Gonge ilang camcao gula kacang. Wung kedhawung ilang
Nenek, ilustrasi
"Iku Bethet Thingthong, tembang dolanan jaman dhisik. Dolanan driji. Saben ketiban lang, drijine kudu ditekuk. Sing menang yo isi nekuk drijine kabeh paling dhisik." Begitu terang simbah yang menangkap kekagetanku ketika mendengar beliau nembang lagu yang tidak kukenal di amben petang kemarin.

"Tetapi kini nyanyian itu sudah jarang terdengar. Anak-anak ekarang sudah tak mengenalinya lagi." lanjut Simbah. "Mereka, termasuk kowe kuwi, luwih akrab karo tembang-tembang radio."

Mendengar hal itu, spontan kumatikan MP3-ku yang tengah mengalunkan Tak Ada yang Abadi-nya Peterpan.

"Mereka, klebu kowe iku, hanyut dalam arena permainan modern yang tak pernah bertahan lama dan lebih banyak menawarkan kedunguan, kurang greget dan cepat membosankan!" kata Simbah lagi sambil njenggung kepalaku. 

"Zaman simbah cilik biyen, Bethet Thingthong adalah syair dolanan kebanggaan anak-anak dan kerap disejajarkan dengan syair Ilir-ilir, Sipadadari, Cublak-cublak Suweng dan lain-lain. Meskipun tidak tahu persis maknanya, tetapi anak-anak saat itu mendendangkannya bersama-sama penuh semangat sambil menari membentuk sebuah kerumunan dan saling beradu jari tangan. 

Makna lagu tidak begitu dihiraukan, namun yang penting bisa mencecap kebahagiaan bersama-sama dalam suasana akrab dan guyub tanpa ada sekat yang menghalangi. Apa pun latar belakang keluarganya, anak-anak bisa bermain riang penuh kebersamaan." terang simbah panjang lebar seraya menyeruput teh kenthel gula batunya. "Ning saiki iku tinggal kenangan." pungkasnya.

***
Yah, anak-anak kita sudah hanyut dalam budaya instan lewat permainan modern yang diadopsi dari tontonan digital, VCD, ringtone handphone dan download internet. Perangkat teknologi yang serba digital telah memudahkan penyebaran aneka macam lagu ke tengah publik, yang dengan mudah bisa diserap anak-anak. Karena itu tidak heran jika anak-anak balita zaman sekarang begitu mudah menghapal syair-syair lagu orang dewasa meskipun kadang terdengar vulgar dan tidak mendidik.

"Bethet Thingthong" merupakan syair anonim yang diwariskan secara turun-menurun oleh nenek moyang, kemudian diserap anak-anak melalui budaya lisan. Syair ini menyiratkan pesan tersembunyi yang memungkinkan tumbuhnya aneka penafsiran, tergantung siapa yang memaknai. Di sinilah letak kehebatan orang-orang zaman dulu yang mampu merangkai kata-kata indah, kaya makna, interpretatif dan menghibur.


Sekilas, syair pendek itu bercerita tentang peristiwa kehilangan (lenyapnya sesuatu) baik yang material maupun nonmaterial. Bethet Thingthong seolah menjadi isyarat kedatangan sebuah zaman yang penuh dengan peristiwa kehilangan banyak hal: nyawa, harga diri, rasa malu, peluang, bahkan semangat hidup.

Perputaran zaman (digambarkan sebagai gong waktu) yang terus bergema ternyata sanggup menghadirkan pemahaman yang kompleks tentang berbagai peristiwa petaka serta fenomena hidup yang tumpang tindih dan saling berbenturan. Dan manusia kerap kehilangan kesabaran dalam menghadapi impitan hidup yang berkepanjangan sehingga lebih memilih jalan pintas meskipun harus kehilangan jati diri dan jiwa kemanusiaannya. 

Kita dapat melihat kenyataan di lingkungan terdekat bagaiman banyak orang telah kehilangan seni hidup dan semangat juang. Kemudian yang tampak di permukaan adalah pertaruhan dan perlombaan mempe- rebutkan posisi dan ambisi individual.

Dalam ranah politik, ekonomi maupun budaya pada skup daerah telah menghadirkan dinamika sekaligus konflik. Terjadi paradoks dan kebejatan di sana-sini akibat kian kemelumeran tangung jawab sosial dan kemenipisan rasa kejujuran.Untuk menyelesaikan segala permasalahan tidak bisa melupakan budaya setempat. Kita tidak akan kuasa menampik posisi dan peran akar kebudayaan sebagai bagian dari tawaran solusi.

Budaya masyarakat masa silam yang dikenal guyub perlu dijaga bersama-sama dalam segala suasana, untuk menciptakan kedamaian dan keserasian hidup. Demi menciptakan daerah yang kondusif sebagaimana digembar-gemborkan para pejabat rasanya perlu ditransformasikan dalam tindakan budaya yang nyata, tidak berhenti pada tataran slogan dan wacana.

Tradisi guyub rukun sebagaimana digambarkan lewat syair "Bethet Thingthong" (permainan anak-anak) perlu dijaga dan dilestarikan agar masyarakat selalu diingatkan pada bahaya akibat kehilangan pegangan.Tradisi guyub rukun perlu dibangun sejak dini (kanak-kanak) agar masyarakat tidak kehilangan makna hidup. 

Maka tidak ada salahnya jika syair dolanan semacam "Bethet Thingthong" dihidupkan kembali dalam kancah pergaulan anak-anak dan dijadikan sebagai alat pergaulan agar mereka lebih mengakrabi atau mengenal teman sebaya dan dunia sekeliling. 

Biarkan anak-anak tampil (bermain) dengan kepolosan, sementara orang tua berusaha menangkap kearifan yang terkandung dalam syair "Bethet Thingthong". Membentuk mental kebersamaan perlu diupayakan semenjak dini untuk menghindari terpaan arus individualisme yang kian deras. Dan masyarakat kita bisa belajar dari kearifan masa lalu untuk ditransformasikan dalam tindakan nyata.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine