Hujan Mengingatkanku Padamu

| September 07, 2015 | Sunting
Hujan
Hujan dari jendela kamarku
Hujan turun begitu deras petang tadi. Bulir-bulir airnya yang mengenai kaca jendela terdengar seperti suara batu kerikil yang dilemparkan oleh anak-anak tetangga suatu ketika dulu. Anak-anak yang selalu membuatmu terlihat begitu jengkel, serta merta bangkit dari duduk, bergegas ke arah jendela.

Mukamu tak terlukiskan lagi seramnya. Tetapi, begitu kau buka tirai dan melihat anak-anak itu memasang muka memelas, jangankan secuil kata kasar, mukamu pun seketika berseri. Lalu membiarkan mereka pergi.

Kau bilang, suara air hujan yang mengetuk-ngetuk genting mengingatkanmu pada masa perang. Umurmu baru menginjak belasan ketika pesawat sekutu menghujani Yogya dengan peluru, Februari 1949. Oleh bapakmu, kamu beserta Ibu dan saudara-saudaramu disembunyikan di dalam galian lubang di bawah dipan. Bapakmu berpesan agar kalian tidak bersuara, menunggu kekacauan mereda. Baru setelah itu sekeluarga akan mengungsi ke Delanggu, ke rumah simbahmu.

Tetapi janji Bapakmu itu tak pernah terjadi betul. Begitu bukan? Tubuhnya malah ditemukan tanpa nyawa, dengan bekas peluru jelas terlihat di dada dan perutnya.

"Bapakku itu pejuang. Ibuku bojo pejuang. Aku anak pejuang!" ujarmu lirih.

Dan karena itulah, ketukan-ketukan hujan akan mengingatkanmu pada bapakmu. Aku begitu hafal bagaimana kau akan membuka laci lemari kamar. Mengambil album foto bersampul biru untuk kemudian memandangi foto pertama di album itu. Gambar hitam putih seorang lelaki muda dengan setelan lengkap jas, rompi, kemeja dan dasi. Rambutnya tersisir klimis. Kacamata berbentuk bulat telur terpasang rapi. Posisi duduknya sedikit menyamping sehingga matanya sama sekali tak melihat ke arah kamera.
Lelaki di halaman pertama albummu
Lelaki di halaman pertama albummu
Aku selalu berpikir itu adalah gambar bapakmu. Ganteng dan terlihat mewah untuk ukuran anak seorang carik desa. Walau kemudian menjadi sulit untuk mencari kemiripan lelaki itu denganmu. Kecuali tentu saja hidung kalian yang sama-sama mekar.

"Dia ini bukan bapakku. Fotonya aku dapat dari pensiunan pegawai pos. Tetapi kurang lebih seperti inilah bapak. Memang nggantheng. Dia selalu bilang kalau ibuku itu banyak yang naksir. Tapi cuma bapak yang dipilih," katamu suatu ketika. Aku tentu saja kaget.

Dan seketika itulah kau akan bercerita tentang kehidupan keluarga sepeninggal bapakmu. Ibumu membawamu dan adikmu pulang ke Wonosari, ke rumah orang tuanya. Sementara dua saudaramu yang lebih tua dititipkan ke Delanggu.

Begitu situasi mulai membaik, ibumu menjual giwangnya untuk dijadikan modal berjualan di pasar. Walaupun situasi sudah lebih aman, tetapi pangan masih susah. Ia berjualan aking dan gaplek karena orang tak sanggup membeli beras. Dari situlah kau dan keluargamu lantas bisa menyambung hidup.

Belasan tahun berjualan di pasar itu, usaha ibumu kian berkembang. Namun, dari sana jugalah kepahitan hidupmu bersumber. "Begitulah hidup. Selalu saja ada yang menaruh benci dan iri pada jerih payah orang lain, méri. Méri itu memang penyakit." katamu.

Ketika peristiwa '65 meletus, ibumu turut diciduk aparat. Seseorang, yang kemudian diketahui sesama pedagang di pasar, mengarang laporan: ibumu menyumbang bahan makanan untuk kegiatan orang-orang PKI.

"Aku pulang ke rumah selang tiga atau empat hari. Aku sudah jadi perawat di Bethesda. Jadi ya walau sepeninggal bapak kami memang kéré, tapi kami tetap sekolah. Ibu yang mati-matian! Makanya begitu kami ada gaji, sedikit akan dikirim ke rumah. Terserah ibu untuk apa. Tapi semua enték diuntal sama itu orang-orang nggragas. Rumah itu sudah tidak rupa rumah. Berantakan. Barang-barang yang ada harganya hilang." jelasmu.

Kamu lantas akan menambahkan apa yang dikisahkan oleh sanak tetangga. Bahwa sebenarnya ada orang yang datang ke rumahmu beberapa malam sebelum penangkapan. Mereka menawarkan perlindungan asal dibolehkan 'bermalam'. Ibumu yang merasa tidak menyimpan salah apapun mengusir mereka dengan membawa antan beras, haha. Yah, kamu selalu menceritakan pengusiran ini dengan sangat bangga.

Beberapa hari kemudian, orang-orang itu datang lagi. Tepat setelah maghrib. Kali ini meminta ibumu menjerang air, membuat minum. Baju mereka hitam-hitam. Semakin malam jumlah mereka bertambah. Sebelum kemudian pergi begitu subuh menjelang. Ibumu turut dibawa.

Orang-orang mengingat hari itu karena sedang hari pasaran. Truk-truk yang berlarian awalnya dikira milik pedagang-pedagang dari jauh, tetapi ternyata membawa puluhan orang dari berbagai desa. Dan rumahmu adalah satu dari sekian titik kumpul. Seorang kerabatmu juga bersaksi bukan, bahwa malam itu negosiasi antara ibumu dan orang-orang itu kembali terjadi, tentang bolehkah mereka 'bermalam'. Ibumu teguh menolak.

Mukamu akan sembab kalau sudah sampai pada bagian ini. Dia memang tak lama ditahan. Pertama dikumpulkan di Kodim Wonosari. Lalu dibawa ke Wirogunan, sebelum dipindah sebentar ke Kotagede. Semuanya tak lebih dari dua tahun. Tetapi ia keluar penjara dengan kondisi ringkih. Sakit-sakitan.

"Selama Ibu ditahan aku berkali-kali hendak menjenguk. Tetapi tidak pernah ketemu. Ada malah aku ketemu mbakyu adhi dari Wonosobo yang sudah pergi ke Kendal, Semarang, Ambarawa, Magelang, sampai Purworejo untuk mencari orang tuanya, tetapi tidak ada."

Pembebasan Ibumu, sebagaimana penangkapannya, serasa petir di tengah terang. Keluarga besarmu padahal diam-diam sudah mempersiapkan berbagai uba rampe kalau sewaktu-waktu Ibumu disudahi.

Sanak saudara di pinggir-pinggir Wonosari waktu itu sering mengabari: banyak pasar di daerah itu kerinan karena pedagang tidak boleh melewati jalur-jalur tertentu selama para tentara sedang menjalankan tugas pembasmian. Sehingga keluargamu sudah siap apabila Ibumu turut dalam rombongan yang dibawa truk ke bukit-bukit gelap itu, sebelum kemudian disiksa untuk kali terakhir, dan diberikan pilihan terjun ke jurang dalam atau ditembak.

"Ditambah lagi, ada tetangga yang katanya melihat ada bola api terbang berputar-putar di atas wuwungan rumah kami. Itu tanda buruk."

Tetapi Ibumu malah pulang.

"Keluar dari penjara ibu tinggal di kontrakanku. Sempat pergi apel juga, tapi akhirnya mandek karena bola-bali opname. Terakhir ya September 1970 itu. Dokter-dokter gemati karena tahu dia ibuku. Seminggu dirawat lha kok tiba-tiba minta foto bapak." Setelah bagian ini kau akan berhenti lagi. Mengusap-usap foto lelaki di album itu.

Kalau kau terlalu lama diam, aku akan meneruskan kisah. Permintaan Ibumu itu pada intinya membuatmu sadar kalau bukan hanya harta benda berharga saja yang turut dimakan petugas. Tetapi mereka juga memakan kenangan, lewat album-album foto yang turut diangkut. Semua tanpa sisa.

"Tetapi gak mungkin juga kan aku bilang hilang semua ke Ibu? Makanya aku nyari foto yang mirip. Susah. Tapi ya mungkin sudah nasibnya Ibu, lha kok nemu satu dari pensiunan pegawai pos."

Pertanyaanku selalu saja sama begitu kau menyebut itu. "Lha ibumu apa sudah lupa wajah suaminya sendiri?"

"Ya sadar. Berkali-kali ia tanya kok bapak terlihat luwih nggantheng. Tapi aku diam saja. Aku baru bilang setelah beliau séda tiga minggu kemudian. Aku bisikkan ke kupingnya: 'Bu, itu memang bukan bapak. Tapi aku ndedonga semoga bapak bener-bener jadi se-nggantheng itu kalau ketemu ibu di akhérat nanti.' Itu pas banget saat beliau dikafani."
***
Adakah bagian yang terlewat? Ya, tentu saja, seperti biasanya. Atau kamu memang enggan menceritakan bagian ini? Iya, bagian saat Ibumu di penjara. Pernah sekali kau ceritakan bahwa selama minggu-minggu awal ditahan, Ibumu hanya disuruh menghafalkan Pancasila. Juga ditanya partai apa yang ia pilih ketika pemilu. Begitu terus menerus.

Baru setelah itu muncul cecaran tentang makani wong-wong komunis, memberi makan orang komunis. Ibumu tidak pernah mengaku tentu saja, karena memang tidak merasa melakukannya. Dan kalau sudah begitu, pemeriksanya akan mulai menariki pakaian Ibumu, satu demi satu hingga ia menangis dan pingsan.

"Mungkin mereka letih menanyai Ibu. Ada ratusan orang yang harus mereka tanyai. Sementara Ibuku teguh dengan tidak dan tangis. Pas tahu itu, jujur aku tambah marah, benci, banget. Tetapi bisa bertemu dengan Ibu lagi saja aku harusnya bersyukur. Banyak yang tidak tahu kabar berita orang tuanya setelah diambil. Kalau ingat itu, Gusti Allah tu baik banget ya sama aku."
***
Hujan-hujan seperti ini mengingatkanku padamu. Aku rindu pada cerita-ceritamu di waktu hujan. Cerita yang kurang lebih sama. Hujan terasa begitu sepi tanpamu, tanpa cerita-ceritamu. Apa di sana kau ketemu bapak ibumu? Apa di sana juga ada hujan? Kalau iya, pada siapa kau bercerita? Apa ada yang mendengar cerita-ceritamu?

Catatan: Tulisan ini diperbarui pada 25 Mei 2016 dan 13 Februari 2017 dengan menyertakan beberapa serpihan cerita. Juga mengoreksi bilangan tahun dan jumlah anak. Kecuali rincian potret lelaki yang digunakan, kisah yang diceritakan dalam tulisan ini adalah kisah benar. Atau setidaknya saya yakini demikian. Ibu dari seorang kawan menceritakannya pada pertengahan tahun 2012 dengan janji saya tidak akan pernah menyebut nama orang-orang yang terlibat. Tulisan ini saya selesaikan dengan mengikut janji tersebut.

3 komentar:

  1. Sudut pandang ceritanya menarik. Rasanya seperti berpindah-pindah dari aku dan perempuan itu. Benar begitu? :)

    Oh ya, cerita ini rekaan saja? Atau kisah benar?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah membaca. Kecuali rincian potret lelaki yang digunakan, kisah yang diceritakan dalam tulisan ini adalah kisah nyata. Begitu.

      Hapus
  2. Saya selalu sedih Mas kalau membaca cerita kesaksian para penyintas 65. Nggak terbayang bagaimana mereka menghadapi itu semua dulu. Terutama lagi bagaimana mereka hidup setelah itu.

    BalasHapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine