Akhirnya, Malaikat dan Hujan Turun di Kampung Kami

| November 14, 2009 | Sunting
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis 
(Surat Cinta, WS Rendra)
Menunggu antrean
Hujan tak pernah turun sejak beberapa bulan lamanya. Saya tinggal di sebuah desa kecil di bagian utara kabupaten Gunungkidul, sebuah kabupaten di Yogyakarta yang sejak lama memang terkenal kering . Gunungkidul utara yang berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Sukaharjo adalah sebuah wilayah yang kering, tandus dan berhawa panas. Bagi sebagian besar warga, kemarau adalah petaka, terutama bagi petani yang menggantungkan hidupnya pada sawah tadah hujan. Bagi sebagian lainnya, kemarau berarti air bersih yang susah untuk dicari. Bagi hewan peliharaan seperti sapi, kerbau atau kambing, kemarau berarti paceklik pakan karena rumput-rumput gering dan mengering. Dan kemarau betul-betul terasa seperti petaka, terlebih selama bulan puasa seperti sekarang ini. Siang hari, jalanan kampung yang biasanya ramai menjadi sepi. Matahari seperti hendak memanggang siapa saja yang berada di bawah teriknya.
Mereka yang berpuasa lebih memilih tiduran di rumah atau mendinginkan tubuhnya di lantai masjid atau mushola sembari menunggu sore tiba. Sawah juga sepi, karena para petani memilih bekerja menjelang senja. Sesekali angin mengoyak debu-debu kering dan membuatnya seperti pusaran tornado kecil. Jika tidak hati-hati, butiran debunya memedihkan mata atau masuk ke mulut dan menyumbat tenggorokan. Beberapa hari lalu ketika terik mencapai puncaknya, ayam-ayam bahkan memilih berteduh di bawah pohon ketimbang berkeliaran mengais makan.

Seringkali tidak hanya menunggu giliran,
 tetapi juga menunggu air terkumpul
Kemarau panjang mengingatkan saya pada masih kanak-kanak. Kemarau berarti waktunya bermain bola sepuasnya di lahan persawahan yang kering kerontang. Lumpurnya mengeras, retak-retak menganga seperti kulit buaya. Orang desa menyebutnya lungko. Ketika duduk di bangku SMP, kemarau malah menguntungkan saya karena sawah yang kering bisa digunakan sebagai jalan pintas menuju ke sekolah. Jarak ke SMP yang biasanya ditempuh selama 30 menit melalui jalan biasa bisa ditempuh menjadi setengahnya dengan berjalan lurus menyeberangi persawahan. Malam hari di musim kemarau juga menjadi malam menyenangkan bagi anak-anak di kampungku. Mereka mencari jangkrik yang banyak bersembunyi di retakan-retakan lungko di persawahan. Kalau musim mencari jangkrik tiba, lahan persawahan seperti ada pesta karena penuh dengan puluhan kerlip lampu senthir atau oncor yang dipakai anak-anak untuk mencari jangkrik. Lalu di siang harinya seusai sekolah, sudut-sudut kampung menjadi ramai dengan sorak sorai anak-anak yang mengadu jangkrik hasil tangkapannya. Beberapa anak yang ‘berinsting bisnis’ menjual jangkrik atau membuat rumah jangkrik dari batang bambu untuk menambah uang jajan.

Musim kemarau di kampungku juga berarti musim pertengkaran dan perselisihan. Penyebabnya apalagi kalau bukan rebutan air. Saluran irigasi yang ada tidak cukup untuk menggemburkan lahan yang kering kerontang. Lahan persawahan di kampungku sendiri begitu luas, sementara air juga harus dijatah ke ke puluhan desa lain yang juga mengalami hal yang sama. Air hanya mengalir beberapa hari sehari, itupun tidak lama. Apalagi banyak warga menggunakan air irigasi untuk keperluan sehari-hari karena sumur-sumur desa juga berhenti mengeluarkan airnya.

Jumat ini menjadi awal yang baik bagi kampungku. Selepas dhuhur, guruh menggelegar berkali-kali, tetapi pasti suaranya seperti musik yang merdu bagi para petani. Di langit, awan hitam bagaikan ibu hamil tua yang sewaktu-waktu siap menumpahkan semua isi perutnya. Orang-orang menengadahkan wajahnya dengan senyum mengembang. Beberapa bahkan membuka telapak tangan atau mulutnya, seperti hendak menadah atau meminum hujan yang baru beberapa tetes saja.

Memang, hujan tidak turun deras. Hanya gerimis yang singgah sebentar, tetapi sudah cukup membuat lungko-lungko menganga di sawah itu hilang dahaganya dan rumput-rumput terbangun dari tidur panjangnya. Seusai tarawih, di mushola dan masjid-masjid, orang-orang memperbincangkan pertanda baik yang dibawa hujan dengan nada kegembiraan dan kebahagiaan. Rencana demi rencana pun di susun. Setelah ini, lumpur kembali menjadi gembur. Setelah ini, orang-orang tidak akan berebut air lagi.

Hujan pertama setelah kemarau panjang memang selalu membawa harapan dan kebahagiaan. Dan semuanya itu diawali dari hal sederhana: bau harum debu kemarau saat disentuh tetesan hujan….
S. Amsa, dengan perubahan seperlunya. Foto: Antara

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine