Kesejahteraan itu...

| November 08, 2009 | Sunting
Suara parau dari Sidoarjo
Tidak mudah menorehkan nilai paling tepat dalam lajur bidang Kesra untuk Kabinet Indonesia Bersatu. Selain menyangkut pasokan data yang teramat bejibun, juga dihadang kekhawatiran soal obyektivitas. Sehingga, harap dimaklum, bila pada akhirnya saya memilih fakta “terpopuler” di mata pembaca sebagai alasan penilaian.

30/10/2010: Menko Kesra, Agung Laksono, mengungkapkan, "Jika pada 2004 tingkat kemiskinan masih 16,7 persen, maka pada 2009 turun menjadi 14,1 persen. Sementara tingkat pengangguran terbuka yang pada 2004 sebesar 9,9 persen, maka pada 2009 turun menjadi 8,1 persen."

Menurutnya, dalam upaya penaggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran ini, pemerintah telah menetapkan kebijakan percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja yang menitikberatkan pada upaya optimaisasi dan harmonisasi penanggulangan kemiskinan. Upaya ini dikukuhkan dengan diterbitkannnya Peraturan Presiden No 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, yang mengkoordinasikan program-program tersebut ke dalam tiga kelompok prgram. Kelompok program tersebut adalah bantuan dan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan kelompok program pemberdayaan usaha mikro dan kecil.

Pada kelompok program bantuan dan perlindungan sosial upaya yang dilakukan adalah meningkatkan akses rumah tangga sasaran (RTS) terhadap Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), beasiswa untuk siswa miskin, dan beras bersubsidi bagi keluarga miskin (raskin).

09/09/2009: Menko Kesra Aburizal Bakrie dijadwalkan bertemu Panglima Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam kunjungan kerjanya ke Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Menurutnya, pertemuan itu bukan agenda utama karena kunjungan kerjanya ke Enarotali adalah untuk meresmikan dimulainya pembangunan permukiman terpadu tahap I di kampung Madi, Enarotali.

Dengan pendekatan itu, Ical berharap, mereka mau turun kembali ke kampung halamannya dan membaur dengan masyarakat lainnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu bakti yang sangat bernilai bagi Ibu Pertiwi adalah menjaga keutuhan “keluarga besar” ini agar terus menyatu dalam bingkai Negar Kesatuan Republik Indonesia. Porsi ini pernah dilakukan oleh mantan Menko Kesra M. Jusuf Kalla untuk “mendinginkan” konflik di Poso, sulawesi Tengah. Namun, hal itu dilakukan dengan perencanaan dan konsep yang matang. Sehingga, Pertemuan Malino tidak sekadar usaha basa-basi untuk mendongkrak popularitas. Hasil nyata yang ditunggu dari pekerjaan itu dan tidak sebatas wacana di media massa.

Dengan perencanaan yang tidak matang dan hasil yang jaug dari harapan, maka ide brilian itu harus bergulir sia-sia dan tidak menjadi credit point bagi Bidang Kesra dalam Kabinet SBY.

07/09/2009: Aburizal Bakrie membantah pemberitaan kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. “Jadi tidak ada korban karena kelaparan. Tapi kalau ada yang meninggal, setiap hari pasti ada. Di Jakarta, setiap hari juga ada orang meninggal,” ujar Ical. Sementara Wakil Gubernur Papua Alex Hasegem juga mengaku, belum menerima laporan dari Pemerintah Kabupaten Yahukimo, terkait adanya bencana kelaparan di wilayah tersebut.

Sebelumnya, sejumlah media massa melansir laporan dari Yayasan Kristen Pelayanan Sosial Masyarakat Indonesia (Yakpesmi) yang menyatakan sejak Januari hingga Agustus 2009, sedikitnya 113 warga Yahukimo tewas akibat kekurangan asupan gizi. Kebanyakan korban berasal dari tujuh distrik, yaitu Distrik Langda, Bomela, Seradala, Suntamon, Pronggoli, dan Heryakpini.

Menurut Koordinator Yakpesmi, Izak Kipka, penyebab kelaparan yang menimpa Kabupaten Yahukimo ini karena tingginya curah hujan yang turun sejak empat bulan terakhir. Akibatnya sejumlah jenis tanaman yang dijadikan makanan pokok masyarakat mengalami gagal panen.

Yakuhimo adalah satu daerah yang memiliki kasus kemiskinan paling menonjol di Tanah Air. Sejak krisis moneter melanda negeri ini pada 1997, angka kemiskinan — yang juga diikuti kelaparan — tidak pernah memberikan perkembangan angka yang menggembirakan. Parahnya, angka pastinya pun selalu berubah-ubah. Sumber-sumber data dari lembaga yang berkompeten untuk urusan ini seakan tidak mampu menghadirkan angka paling benar. Baik Biro Pusat Statistik atau Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan kader-kader di seluruh pelosok daerah.

Kalau soal data pun semrawut, bagaimana pula mencari solusi terbaik untuk mengentaskan kemiskinan? Buah yang dipetik dari kemiskinan itu bukan hanya kelaparan. Tapi, juga kesempatan memperoleh pendidikan yang layak, kesehatan yang terjamin, dan masalah sosial lain. Bahkan, ancaman generasi yang hilang (the lost generation) juga tidak bisa diabaikan.

Bayangkan, generasi macam apa yang bisa dihasilkan dari daerah miskin, dengan anak-anak yang kekurangan gizi, tidak bersekolah, tidak pernah memeriksakan kesehatan, dan tidak mendapatkan haknya sebagai anak-anak! Dan, itu bukan hanya milik Yakuhimo. Daerah-daerah miskin di setiap pulau, dengan problem yang seragam, juga tidak sedikit. Semoga lembaga-lembaga pemasok data bisa bekerja kembali dan menghadirkan angka pastinya.

Maka, nilai apa yang layak diberikan untuk “cacad-cacad” nyata yang bisa ditangkap mata telanjang ini?

06/09/2008: Aburizal Bakrie mengatakan bantuan untuk korban gempa di Jawa Barat, belum bisa menjangkau seluruh titik karena ada kendala dalam pendistribusian bantuan. “Pemerintah daerah harus segera mengatasi masalah ini,” kata Ical.

Bencana bukan cerita baru untuk negeri ini. Terlebih bagi pemerintahan SBY. Bencana bertubi-tubi datang dan membuat Kementerian Sosial harus bekerja keras menuntaskannya. Seiring dengan itu, kendala selalu saja datang dan menghambat pekerjaan besar itu. Padahal, korban bencana bukan hanya menunggu, tapi tengah mengitung durasi ketahanannnya.

Pada bagian ini saya harus mengatakan, Kementerian Sosial dengan pengalaman dan record kinerjanya yang luar biasa, kok masih saja dililit berbagai kesulitan dalam penanganan masalah. Bencana di negeri ini bukan sekali atau dua kali terjadi. Tapi, departemen ini selalu menjadi “pendukung” di balik kinerja relawan asing atau relawan dalam negeri. Perhatikan saja sejak peristiwa tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan bencana-bencana berar lain.

Idealnya,  Kementerian Sosial harus berada di garda terdepan. Sedangkan tenaga-tenaga lain, baik dari militer, relawan, atau warga lain, tetap di barisan belakang. Selain itu, strategi jitu juga harusnya sudah ada dan tidak yerkukung birokrasi.

Pendistribusian yang terhambat hanyalah salah satu contoh kasus penanganan korban gempa yang masih gagap. Di luar itu, mata telanjang kita bisa sama-sama saksikan, dan tidak memungkinkan untuk menjadi nilai bagus untuk bidang ini.

27/07/2008: Aburizal Bakrie di Blitar, Jawa Timur, Senin (27/7), mengatakan, pemerintah berencana meninjau ulang pemberian ganti rugi bagi para korban luapan lumpur PT Lapindo Brantas. Menurut Aburizal, pemerintah akan memberikan kebijakan khusus bagi desa-desa yang baru terkena dampak lumpur. Besarannya sama dengan warga korban lumpur yang sudah masuk dalam peta berdampak

Seperti diberitakan sebelumnya, akibat munculnya semburan gas yang disertai lumpur, kawasan Siring Barat, Porong, Sidoarjo, Jatim, sudah tidak layak huni. Sebab, puluhan rumah warga retak-retak. Bahkan, di rumah warga muncul semburan baru disertai bau gas yang menyengat. Warga berharap mereka segera mendapatkan ganti rugi meski kawasan ini tak masuk dalam peta terdampak

Penanganan korban lumpur Lapindo adalah kasus paling memalukan dalam kabinet SBY jilid satu. Rumah hancur, lingkungan ikut hancur, hidup jadi tidak teratur, ganti rugi belum membaur, masa depan makin tak terukur. Bahkan kekuatan pemerintah pun tidak sanggup melunakkan hati pemilik perusahaan, untuk selekasnya menunaikan kewajiban.

Maka, di tengah gemerlap pesta demokrasi dan berbagai kegiatan politik dalam negeri yang menghamburkan banyak uang, warga korban lumpur Lapindo harus jadi penonton paling merana. Jerita mereka, jelas, menjadi cacad bagi rapor Bidang Kesra.

22/05/2008: Aburizal Bakrie mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksa warga agar mau menerima bantuan langsung tunai (BLT). “Ini uang negara yang diberikan kepada rakyat. Apabila rakyat menerima atau tidak, itu hak mereka,” kata Menko Kesra yang biasa disapa Ical.

BLT diberikan kepada warga miskin sebagai kompensai kenaikan harga BBM yang tidak bisa dikompromikan lagi. Pada era sebelumnya, program ini dijalankan dengan label Jaring Pengaman Sosial (JPS). Meski “sukses” secara pemberian, dengan bocor di sana-sini, namun masalah kemiskinan belum teratasi.

Namanya saja kompensasi. Barangkali maksudnya, kompensasi untuk tidak sakit hati atas naiknya harga BBM, melambungnya harga-harga sembako, dan nilai BLT tidak bisa mengejar daya beli. Akhirnya, ya tidak bermakna.

Lucunya, JPS menjadi inspirasi bagi pengguliran BLT. Termasuk, dengan aroma “carut-marut”nya. Parahnya lagi, kali program digulirkan berdasarkan data kemiskinan yang masih diragukan validitasnya. Tidak heran masalah ini pun menjadi topik segar selama masa kampanye lalu. Meski warga tidak goyah akan “provokasi” selama kampanye, toh fakta di lapangan membuktikan bahwa hal itu bukan solusi terbaik untuk menjawab angka kemiskinan.

Entah skenario apa di balik pengguliran program BLT? Yang pasti, program ini tidak layak mendapat apresiasi. Apalagi poin!

02/11/2006: Aburizal Bakrie mengusulkan pemerintah membeli pesawat bom air BE-200 dari Rusia. Pesawat seharga Rp 400 miliar itu dapat diandalkan untuk memadamkan kebakaran lahan dan hutan yang setiap tahun mengancam Indonesia.

Kebakaran hutan, ancaman pandemi flu burung dan flu babi, penyelenggaran pendidikan murah, pelaksanaan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, penyelenggaraan ibadah haji, pengembangan pariwisata, pemberdayaan perempuan, dan banyak lagi program dari sejumlah departemen dan kantor kementrian, saling meramaikan wacana. Di tingkat wacana dan perencanaan sangat bagus. Tapi, begitu hingga di tingkat pelaksanaan, masih saja tersendat-sendat.

Kebakaran hutan masih saja terjadi. Bahkan menjadi rutinitas. Tapi, penangananannya tidak pernah berhasil. Hari ini kebakaran, besok dipadamkan. Lusa kebakaran lagi, lalu dipadamkan lagi. Dan seterusnya. Ada apa di balik sulitnya memecahkan masalah ini?

Dana Biaya Operasi Sekolah (BOS) menarik di layar televisi dalam bentuk public service advertisment (PSA) tapi tidak oke di tingkat mayarakat. Sekolah gratis dan bermutu masih mimpi. Kalau ingin mendapat pendidikan bermutu, maka sediakan juga dana tambahan dari orangtua siswa. Lho?

Jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, ya sebatas Puskesmas atau rumah sakit umum di kelas ecek-ecek. Bila setuju untuk menikmati layanan itu, maka bersiap-siaplah menyiapkan surat miskin dan sabar mengantre saat mendapat perawatan. Semoga kaum miskin tidak pernah sakit parah.

Persoalan pernyelenggaraan ibadah haji selalu saja berputar di antara kuota, pelayanan di dalam negeri, maktab, catering, dan berbagai kesulitan, yang haris dimaklumi. Karena sejak di Tanah Air, hal itu harus diyakini sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa. Sehingga pembenahan pun selalu berjalan di tempat dan tidak maju-maju. Beruntung, para tetamu Allah itu sudah beristiqomah untuk bersabar, ikhlas, dan tawakal menerima apa pun.

Dari masing-masing kategori, entah nilai apa yang pantas diberikan? A, B, C, D, atau E? Barangkali Anda memiliki catatan-catatan positif yang memungkinkan pemerintah SBY layak mendapat nilai tinggi untuk kategori-kategori tertentu. Itu hak Anda.

*) Sumber: Liputan 6

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine