Mbah Minah dan Tiga Biji Kakao

| November 21, 2009 | Sunting
Mbah Minah di kursi pesakitan, PN Purwokerto
Tiga biji kakao telah memasukan mbah Minah ke dalam penjara. Dengan segala kesederhanaannya, mbah Minah menerima putusan yang disampaikan oleh majelis hakim. Ironis memang, tapi itulah hukum. Hukum memang tidak kenal kaya atau miskin, besar atau kecil, kota atau desa, laki atau perempuan. Hukum hanyalah untuk hukum, ia bersifat universal. 

Tak mbah Minah, bukan juga Anggoro Widjoyo, atau yang lainnya. Semua orang memang harus patuh dan tunduk pada hukum. Namun demikian, sebuah kejadian melawan hukum harus juga memperhatikan faktor sosio-antropologisnya. Untuk kasus besar yang memberikan dampak sangat besar, tentu tak bisa diabaikan. Tapi, bagi kasus yang hanya melibatkan tiga butir kakao haruskah berurusan dengan pengadilan. Apa kesalahan seperti itu tak bisa dimaafkan? 

Lagipun yang disebut pencurian tiga buah kakao tersebut sebenarnya juga belum sempat dibawa pulang. Tak bisakah perkara tersebut diselesaikan dengan cara kekeluargaan, apalagi motif pencurian tersebut hanya untuk dijadikan bibit? Atas perbuatannya itu, pengadilan menghukum mbah Minah 1,5 bulan. Dengan segala kepasrahaannya, mbah Minah menerima hukuman tersebut.
 
Ada satu pelajaran menarik yang patut kita ambil dari kasus ini, mbah Minah mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada perusahaan kakao tersebut. Hal ini sangat jarang sekali terjadi dilakukan oleh para petinggi kita yang sudah jelas berbuat salah. Para petinggi tersebut yang umumnya pemimpin, selalu berusaha mengelak tuduhan yang diberikan. Walapun sudah jelas-jelas mereka yang bersalah. Namun, dengan segala daya upaya mereka mengelanui hukum dan aparat penegak hukum agar mereka terbebas dari jeratan hukum. Sebuah contoh yang sangat memalukan dari para pemimpin kita.

Hukum adalah hukum, dan kesalahan tetap kesalahan. Sekecil apapun kesalahan itu harus diselesaikan secara hukum. Demikian pula dengan tindakan pencurian. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah balasan hukum adalah menghukum. Apakah cara-cara penyelesaian kekeluargaan juga bukan termasuk penyelesaian hukum? Kita memang tidak membela tindakan pencurian yang dilakukan oleh mbah Minah tapi proses yang dilakukan oleh penegak hukum haruskan selalu berakhir dengan pengadilan. Tidak bisakah penyelesaian kasus seperti yang dialami oleh mbah Minah dilakukan dengan cara-cara yang lebih sederhana dan mudah, serta tidak harus dilimpahkan ke pengadilan.

Hukum memang terkadang aneh, pada suatu saat ia tajam ke bawah, dan pada saat lain tajam ke atas. Namun yang paling sering adalah tajam ke bawah seperti pisau. Bagi masyarakat kecil, lemah, dan sederhana, penegakkan hukum sangat mudah. Tapi bagi orang yang kuat, berpengaruh, dan pemimpin hukum seakan mandul. Padahal hukum tidak kenal status, pangkat dan jabatan, kekuasaan, harta dan kekayaan. Hukum mengikat semua manusia, ia berlaku bagi semua orang, baik yang berbuat salah ataupun tidak. Perlakuan hukum tak bisa dibedakan, apalagi bagi orang yang mengerti hukum. 

Menjadi pencuri ataupun sejenisnya bukanlah pilihan, apalagi bagi masyarakat kecil. Maksud baik belum tentu ditanggapi baik. Mungkin perusahaan yang diambil buah kakaonya oleh mbah Minah merasa rugi, apalagi dengan niat mbah Minah yang akan menjadikan buah tersebut sebagai bibit. Mungkin perusahaan itu akan berpikir, bila mbah Minah berhasil menjadikan buah kakao itu lebih banyak lagi maka perusahaan mereka tersaingi nantinya. Dari pada nanti tersaingi lebih baik menghukum mbah Minah agar tidak bisa membibit tanaman kakaonya.

Mungkin maksud perusahaan tersebut untuk memberi pelajaran kepada masyarakat yang lain, bahwa dengan mencuri kakao tiga bijipun mereka bisa dihukum. Betul memang, tapi kita juga perlu bertanya, apakah selama ini perusahaan tersebut telah membina masayarakat disekitarnya? Apakah kejadian tersebut telah terjadi berulang kali, atau bahkan kebun perusahaan tersebut hancur lebur karena dicuri masyarakat?

Tragedi buah kakao yang menghukum mbah Minah memang menjadi pelajaran bagi penegakkan hukum di negeri ini. Dengan proses yang demikian cepat, diharapkan semua perkara hukum di negeri kita ini dapat dilakukan secara adil. Jangan hanya keadilan itu berlaku bagi orang kecil atau orang besar saja. Tapi diharapkan semua proses hukum harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kasus ini merupakan contoh bagi aparat penegak hukum, bahwa sebesar dan seberat apapun sebuah kasus tidak boleh di rekayasa demi kepentingan pribadi dan golongannya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine