Nando Parrado, Keajaiban itu Ada

| November 14, 2009 | Sunting
Pesawat Uruguay yang bernomor 571 yang jatuh di pegunungan Andes
12 Oktober 1972. Pesawat Uruguayan Air Force Flight 571 meninggalkan bandara Carrasco di ibu kota Uruguay, Montevideo. Turut dalam pesawat carteran tersebut adalah 5 kru bersama pemain dan pengurus tim rugby Old Christians, serta teman dan anggota keluarga mereka yang jumlah semuanya 40 orang. Mereka akan terbang ke Santiago, Chili untuk sebuah pertandingan.

Cuaca buruk memaksa mereka bermalam di kota kecil Mendoza, Argentina sebelum melanjutkan perjalanan keesokan siangnya. Bagaimanapun, awan tebal yang menyelimuti angkasa pegunungan Andes dan kuatnya hembusan angin membuat perhitungan awak pesawat meleset dan pesawat jenis Fairchild tersebut malah menabrak salah satu puncak pegunungan Andes dan terjatuh.

Lima orang meninggal seketika, sementara tujuh lainnya hilang. Dan saat itulah perjuangan 33 orang yang selamat, meski sebagian antaranya terluka, dimulai. Dengan persediaan makanan seadanya. Juga dingin yang menggingit. Belum lagi campur aduk perasaan bingung dan sedih karena hilangnya teman dan keluarga.

Keadaan menjadi semakin biru begitu mereka mendengar berita dari radio bahwa pemerintah Uruguay (bersama dengan Argentina dan Chili) menghentikan proses pencarian korban, hanya 11 hari setelah kecelakaan. Tim pencari yang menemukan salah satu radio transmitor pesawat memprediksi sudah tidak ada lagi penumpang yang selamat. Mereka sangat terpukul tentunya dengan berita tersebut.

Ketika tak ada lagi perbekalan makanan yang bisa mereka makan, satu-satunya sumber makanan adalah daging para korban yang telah meninggal, tubuh teman-teman mereka sendiri. Namun begitulah, demi bertahan hidup, para penyintas itu memberanikan diri untuk memakannya.

Malangnya tak semua korban dapat bertahan. Beberapa jatuh sakit dan meninggal. Sebagian tewas tertimbun longsoran salju saat mereka terlelap.

12 Desember

12 Desember 1972. Enam puluh satu hari setelah kecelakaan, 3 orang penyintas memutuskan untuk memulai perjalanan ke luar dari lautan salju tersebut. Itu pun melalui perdebatan alot - terutama karena terbatasnya bekal dan lemahnya kondisi badan mereka sendiri. Tetapi begitulah, dengan bekal seadanya dan juga kantung tidur yang mereka buat sendiri dari berbagai macam kain yang ada, mereka memulai perjalanan. Ketiganya Nando Parrado, Roberto Canessa dan Antonio Vizintin.

Di hari ketiga perjalanan, diputuskan Vizintin harus kembali ke lokasi kecelakaan karena bekal kian menipis. Parado dan Canessa melanjutkan perjalanan. 

Beberapa hari berselang, Parado dan Canessa mulai menemukan sungai. Dari sungai inilah mereka yakin akan keluar dari Andes. Mereka terus mengikuti alur sungai tersebut hingga benar-benar menapak tanah, bukan lagi salju.

Bermula dari sana keduanya menemukan tanda-tanda kehidupan. Mulai dari sisa-sisa kemah gembala, hingga kawanan sapi pada hari ke sembilan perjalanan.

Di tempat itu keduanya lalu beristirahat. Canessa-lah yang kemudian melihat laki-laki berkuda di seberang sungai. Awalnya ia berpikir itu hanyalah semacam halusinasi, tetapi kemudian muncul 3 orang lain. 

Mereka meneriaki para gembala itu, berusaha menceritakan kondisi mereka. Derasnya air sungai tetapi membuat komunikasi nyaris mustahil. Namun, keduanya mendengar salah seorang dari gembala itu berteriak, "Besok!"

Saat itulah mereka mulai yakin akan selamat.
Nando Parrado dan Roberto Canessa, bersama dengan Sergio Catalan, sang gembala penyelamat
Keesokannya, si lelaki berkuda kembali datang dengan makanan. Dari seberang sungai ia juga melemparkan kertas dan pena yang diikatkan pada sebuah batu.

Parrado menuliskan catatan di kertas, si gembala paham. Ia memacu kudanya ke desa terdekat, sebelum menumpang truk dan melapor polisi. Di saat sama, teman si gembala berhasil membawa Parrado dan Canessa ke sebuah kawasan kamp terdekat, Los Maitenes.

Sementara Parrado dan Canessa mencari pertolongan, mereka yang bertahan di lokasi kecelakaan juga berusaha mencari tubuh korban yang hilang. Sesekali mereka menghidupkan radio, kalau-kalau ada berita tentang Parrado dan Canessa.

Pagi hari, 22 Desember, berita yang mereka tunggu muncul di radio. Siang harinya dua helikopter penyelamat datang, bersama Parrado sebagai penunjuk.

Hari itu, 6 penyintas diangkut dari lokasi kecelakaan. Delapan lainnya harus melanjutkan bermalam di lokasi kecelakaan bersama anggota tim penyelamat. Baru keesokannya, semua yang tersisa berhasil diangkut dan dibawa ke Santiago untuk perawatan.

Tubuh para korban yang meninggal dikuburkan dengan layak kemudian, sekitar 80 meter dari lokasi jatuhnya pesawat. Tumpukan bebatuan dan salib diletakkan sekitar kubur mereka, sebagai tanda dan pengingat kecelakaan tersebut.

***
Selama kurang lebih 3 bulan mereka hidup di pegunungan Andes, berselimut salju dan kemudian bertahan dengan daging tubuh teman-temannya sendiri. Itu semua mereka lakukan dengan satu semangat untuk tetap bertahan hidup. Juga demi teman-teman mereka yang meninggal. Dan bagi Nando Parrado itu semuanya bisa terjadi karena kekuatan cintanya kepada sang Ayah yang selalu menyemangatinya untuk bisa bertahan hidup.

Kini Nando Parrado dan sebagian temannya yang masih hidup berusia sekitar 50-an tahun. Setiap tahun mereka mengadakan reuni ke pegunungan Andes untuk mengenang masa-masa perjuangan dulu. Puluhan judul buku dan filmpun diterbitkan. Termasuk catatan Nando Parrado sendiri, Miracle from the Andes - yang juga menjadi sumber utama tulisan ini.

Nando Parrado dan teman-temannya menunjukkan pada kita bahwa miracle is achievable! Keajaiban itu bisa kita raih dengan usaha sungguh-sungguh. Semangat pantang menyerah dan tak kenal putus asa. Akan lain ceritanya, jika mereka saat itu hanya pasrah menunggu maut datang menjemput di atas Andes misalnya. 

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine