KPK vs Polri Versi Orang Awam

| November 14, 2009 | Sunting
Polisi baik - koleksi Kepak Garuda
Kalau membicarakan tentang polisi Indonesia, saya teringat candaan mantan orang nomor satu di Indonesia, K.H. Abdurahman Wahid, yang pernah mengatakan, “Polisi yang baik itu cuma dua. Pak Hugeng almarhum - mantan Kapolri dan polisi tidur."

Polisi katanya melayani dan melindungi masyarakat. Melayani artinya pelayan kan? Itu artinya, masyarakat tuannya bukan? Tapi yang terjadi di “lapangan”, berapa banyak polisi yang mau enaknya sendiri? Polantas contohnya (bagian dari kepolisian yang paling sering berhubungan langsung dengan masyarakat). Saat jalan macet, panas siang hari, apa yang dilakukan para polisi itu? Ngadem, ngobrol di pos jaga yang ada TV-nya. Bukannya turun ke jalan mengatur lalu lintas. Memang, gak semua gitu, tapi itulah yang terjadi pada sebagian besar oknum berseragam coklat itu. Nanti kalo terjadi kecelakaan, polisi itu baru turun ke jalan, basa-basi tanya ada apa (lha wong sudah tahu kecelakaan masih tanya). Dan ujung-ujungnya, orang yang tabrakan itu dibawa ke pos untuk dimintai keterangan. Terus? Suruh bayar uang perkara. Padahal yang tabrakan sudah damai, polisinya masih saja membuat perkara (mungkin biar ada ongkos lelah sudah mau berpanas-panasan). Tapi kan mereka dibayar pemerintah untuk di jalan, bukan untuk duduk ngobrol di pos?

Itu baru contoh kecil saja. Masalah tilang juga. Apa ada hukumnya polisi kasih pilihan mau ditilang atau bayar uang yang katanya “ntar mau dititipin ke pengadilan” (jadi biar pelanggar gak perlu sidang). Sampai-sampai di masyarakat polisi itu mempunyai banyak singkatan. Ada yang bilang Pol-pol e ngapusi (ujung-ujungnya bohong), atau Perkara Orang Lain Itulah Sumber Income (POLISI). Mungkin ada yang punya istilah lain?

Ada yang bilang juga itu semua buat nutup modal masuk kepolisian. Bukan rahasia lagi, kalau mau masuk akademi kepolisian harus siap uang banyak kalo gak punya koneksi. Sebut saja 50 juta, 60 juta, atau berapa… tergantung nanti setelah lulus mau jadi Polantas, Brimob atau yang lain. Semakin “basah” lahannya nanti, uang masuknya juga makin besar. Lhah? Bibit, bobotnya saja sudah gak jelas begitu, gimana mau menghasilkan polisi yang berkualitas?

Jadi, yang dilakukan para polisi itu ya cari duit sebanyak-banyaknya buat balik modal, yang mana sesuai kenyataannya kalau hanya dari gaji saja kurang. “Gaji polisi itu cuma buat hidup sampe tanggal 10, 20 hari selanjutnya ya turun ke jalan” kata seorang Polantas tanpa malu di sebuah warung burjo. Mungkin karena itu ya, kalau tanggal 10 lewat banyak ‘cegatan’ alias pemeriksaan kesalahan di jalan?

Jadi arti melayani (mengabdi) itu kurang dipahami. Sebagai orang Jogja, saya tahu beberapa cerita tentang kehidupan abdi dalem keraton Jogja. Saya pernah mendengar ada yang hanya digaji 4000 rupiah sebulan. Tapi bapak itu nyatanya senang-senang saja. Beliau melakukan itu bukan karena masalah uang, karena senang… damai… tentram melakukan itu semua. Bisa hidup juga nyatanya. Keluarganya juga gak menuntut, toh beliau masih punya istri yang setia. Tidak ninggalin dia karena hanya dinafkahi 4000 sebulan, walaupun karena itu istrinya yang bekerja.

Jadi, masihkah polisi itu disebut mengabdi atau melayani? Dengan gaji mereka yang beratus-ratus kali lipat dari abdi dalem tadi, kurangkah untuk hidup mereka? Atau para polisi itu memang gak mengenal kata cukup alias nggragas? Selalu saja kurang. Padahal dia juga sudah tahu tugas polisi itu mengabdi dan melayani, kok ya gitu? Kok ya kalau sudah tahu gitu masih mau jadi polisi? Tapi gak bisa ngerasa cukup. Apa jargon polisi tentang melayani masyarakat itu sekadar obsesi?

Sampai-sampai untuk membuat laporan kehilangan KTP saja harus bayar “uang ketik”. Lha terus, tugas polisi itu apa dengan gaji tiap bulan yang mereka terima kalau ngetik surat kehilangan aja bayar, buat ngambil barang bukti aaja bayar, sampai minta surat keterangan kelakukan baik saja bayar? “Mas, sekarang kencing aja bayar… hahaha” begitu tanggapan seorang polisi ketika ditanya kenapa buat surat kehilangan saja mesti bayar. Kedengeran seperti omongan orang yang tidak makan bangku sekolah ya?

Melindungi masyarakat… Apa ada gitu polisi yang rela melindungi sesuatu karena merasa itu tugasnya? Yang ada, butuh bantuan polisi berani bayar berapa? Mengawal uang, melindungi toko dari amuk massa, menjaga bank, dll pasti harus bayar polisi kan? Tapi, bukankah itu tugas polisi? Melindungi masyarakat. Atau itu juga sekadar obsesi aparat berseragam itu?

Dan masih banyak catatan buruk polisi yang lain, yang mungkin bisa dibuat sebuah buku setebal cerita Harry Potter.

Dan sekarang yang lagi hangat beritanya: KPK vs Polisi. Jelas sudah mengapa kebanyakan orang jadi mendukung KPK. Lha wong citra polisi di mata masyarakat sudah jelek, sudah pasti masyarakat langsung membela KPK. Lembaga hukum yang terkenal karena berhasil menyelamatkan uang negara bermilyar-milyar. Kalau polisi? Lembaga hukum yang terkenal karena berhasil menghabiskan uang negara bermilyar-milyar untuk menggaji orang yang mau duduk-duduk di pos perempatan jalan. Sekali lagi, ini karena citra masyarakat yang sudah terbentuk dari zaman dulu. Dan polisi gak pernah mau memperbaiki citra buruk itu. Kalau dengar cerita tentang lelucon polisi, mereka malah tertawa. Bukan merenung mengapa lembaga kepolisian sedemikian buruk citranya, sampai hampir semua orang di negeri ini punya lelucon untuk menyindir polisi.

Lelucon yang paling saya ingat selain lelucon Gusdur tadi adalah saat pihak kepolisian datang ke sekolah, berceramah tentang pembuatan SIM gratis (ada-ada saja). Teman saya bercerita, suatu hari ada anak yang menulis surat pada Tuhan minta uang 200 ribu untuk biaya berobat ibunya. Karena bingung, tukang pos memberikan surat itu ke pos polisi. Setelah dibaca, akhirnya polisi yang ada di pos itu mengumpulkan saweran. Ada yang memberi 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu. Dan terkumpullah uang 150 ribu. Kemudian, salah seorang polisi itu mengantarkan uang itu ke alamat anak tadi. Setelah melihat suratnya dikabulkan oleh Tuhan, anak itu kemudian berdoa "Ya Tuhan, terima kasih ya uangnya. Tapi Tuhan, lain kali nitipinnya jangan sama pak polisi, jadinya kurang 50 ribu deh uangnya."

Apa moral cerita itu? Sebaik-baiknya polisi, tapi karena citra buruk itu gak pernah lepas dari mereka, apapun yang mereka lakukan jadi terlihat buruk di masyarakat (baik yang niatnya menolong atau yang memang berniat nyolong).

Bagaimana Pak Polisi yang perutnya makin berisi, mau mengubah citra itu? Atau jargon "Melayani dan Melindungi Masyarakat" sekadar ilusi?


V. Hasiholan, dengan perubahan seperlunya 

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine