Impian Alamku

| November 28, 2008 | Sunting
kala titik-titik embun mulai lepaskan diri dari pucuk dedaunan..
ketika terang mulai merayap singkirkan gelap
ketika itulah hati kecilku mulai bertanya
manakah alam dambaanku??
ketika itulah alam berbisik
seakan menjawab keluhanku itu
berkatalah ia 
"bila aku diurus dengan baik itu impianku, 
dan bila ku dirusak dan dicemari itulah keluhku"
Puisi di atas ditulis oleh Abdul Qodir, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun yang saat itu masih bersekolah di MTs Nurul Hidayah, Sidamulya, Cisarua, Nanggung, Bogor, Jawa Barat. Ia suka bertualang dan menulis puisi ataupun cerita. Ia juga suka membantu orang tuanya di kebun. Qodir adalah satu dari sekian banyak penambang emas tradisional di gunung Pongkor, Bogor. Demi mendapatkan uang tambahan, ia dan rekan-rekannya tanpa sadar mencemari sungai dengan bahan kimia pengolah bijih emas. 

Alamku Tak Seramah Dulu,
Yayasan Obor - 2006
Puisi dan kisah Qodir si penambang emas tersebut merupakan bagian dari buku Alamku Tak Seramah Dulu, terbitan Obor Indonesia.

Buku ini berkisah tentang bumi Indonesia yang telah berubah. Sungainya tak lagi jernih gara-gara limbah pabrik, hutan-hutan berubah menjadi jalan raya dan pabrik. Hingga hilangnya lahan bermain anak-anak.

Sebagian besar perubahan itu kasat mata, terlihat di sekeliling kita. Namun, karena semuanya terjadi sedikit demi sedikit, kita seolah malah terlena. Seperti Penguwar di belantara Jambi misalnya, bermula dari minuman dalam saset, Jas Jus, ia mulai merelakan daging rusa jatah makannya demi buah-buahan semu yang tidak bisa ia temukan di rimbanya - strowberi, leci hingga melon.

Perubahan juga datang melalui kotak manipulatif bernama televisi. Sipar yang tinggal di lereng gunung Merapi dibuat penasaran oleh kisah Mak Lampir di televisi. Apa ia benar ada? Dimana? Kenapa tidak pernah sekalipun ia temui?

Nah, disinilah kehadiran uang dan barang-barang, seperti yang ditulis dengan apik oleh Aditya Dipta Anindita dalam pengantarnya, memanipulasi pikiran manusia-manusia Indonesia. Kehadiran barang-barang "baru" yang membuat manusia membuat manusia mengalihkan pemenuhan kebutuhannya dari alam kepadanya dan pada titik inilah uang menjadi penting: Penguwar lebih memilih buah imitasi Jas Jus dari pada memetik sendiri buah-buahan segar di hutan, ketika tak ada lagi hutan dan sungai tempat bermain di desanya maka Fakri harus membayar sewa play station.

Uang dan pasar jugalah – didukung teknologi informasi dan transportasi – yang mempertemukan manusia di berbagai tempat dalam pengalaman yang sama. Penguwar yang tinggal di hutan Jambi menikmati Jas Jus yang juga diminum oleh Agnes Monica di Jakarta. Fakri bermain play station seperti halnya anak-anak di Jepang sana. Konon, para pakar dan pemikir menamakan proses ini sebagai globalisasi.

Menurut mereka, globalisasi adalah suatu sistem budaya yang global, yang mendunia. Artinya, di belahan dunia manapun kita berada, pasti akan terkait dalam satu jaringan besar. Kita semua adalah bagian dari mata rantai, saling mempengaruhi.

Tentu ada dua sisi yang didapat dari proses ini: positif dan negatif. Kebetulan Penguwar, Sipar, Qodir, Haposan, Fakri dan Bu Sukenti termasuk yang tidak beruntung karena alam di sekitar mereka tak lagi ramah dan bersahabat.

Di lima lokasi dan persoalan yang berbeda tersebut, terdapat benang merah yang sama yaitu anak dan perubahan lingkungan yang setelah ditelusuri sebab-akibatnya, disimpulkan satu persoalan besar yaitu hukum keterkaitan dunia tadi. Lalu jadilah buku ini agar kisah Penguwar, Sipar, Qodir, Haposan, Fakri dan Bu Sukenti dapat menjadi renungan bersama.

Rasanya tak perlu menunggu 30 tahun – sebagaimana Bu Sukenti – untuk menyadari perubahan alam di sekitar kita. Kita sadar mulai dari sekarang!

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine