kala titik-titik embun mulai lepaskan diri dari pucuk dedaunan..ketika terang mulai merayap singkirkan gelapketika itulah hati kecilku mulai bertanyamanakah alam dambaanku??ketika itulah alam berbisikseakan menjawab keluhanku ituberkatalah ia"bila aku diurus dengan baik itu impianku,dan bila ku dirusak dan dicemari itulah keluhku"
Puisi di atas ditulis oleh Abdul Qodir, seorang anak laki-laki berumur 15 tahun yang saat itu masih bersekolah di MTs Nurul Hidayah, Sidamulya, Cisarua, Nanggung, Bogor, Jawa Barat. Ia suka bertualang dan menulis puisi ataupun cerita. Ia juga suka membantu orang tuanya di kebun. Qodir adalah satu dari sekian banyak penambang emas tradisional di gunung Pongkor, Bogor. Demi mendapatkan uang tambahan, ia dan rekan-rekannya tanpa sadar mencemari sungai dengan bahan kimia pengolah bijih emas.
Alamku Tak Seramah Dulu, Yayasan Obor - 2006 |
Buku ini berkisah tentang bumi Indonesia yang telah berubah. Sungainya tak lagi jernih gara-gara limbah pabrik, hutan-hutan berubah menjadi jalan raya dan pabrik. Hingga hilangnya lahan bermain anak-anak.
Sebagian besar perubahan itu kasat mata, terlihat di sekeliling kita. Namun, karena semuanya terjadi sedikit demi sedikit, kita seolah malah terlena. Seperti Penguwar di belantara Jambi misalnya, bermula dari minuman dalam saset, Jas Jus, ia mulai merelakan daging rusa jatah makannya demi buah-buahan semu yang tidak bisa ia temukan di rimbanya - strowberi, leci hingga melon.
Perubahan juga datang melalui kotak manipulatif bernama televisi. Sipar yang tinggal di lereng gunung Merapi dibuat penasaran oleh kisah Mak Lampir di televisi. Apa ia benar ada? Dimana? Kenapa tidak pernah sekalipun ia temui?
Nah, disinilah kehadiran uang dan barang-barang, seperti yang ditulis dengan apik oleh Aditya Dipta Anindita dalam pengantarnya, memanipulasi pikiran manusia-manusia Indonesia. Kehadiran barang-barang "baru" yang membuat manusia membuat manusia mengalihkan pemenuhan kebutuhannya dari alam kepadanya dan pada titik inilah uang menjadi penting: Penguwar lebih memilih buah imitasi Jas Jus dari pada memetik sendiri buah-buahan segar di hutan, ketika tak ada lagi hutan dan sungai tempat bermain di desanya maka Fakri harus membayar sewa play station.
Perubahan juga datang melalui kotak manipulatif bernama televisi. Sipar yang tinggal di lereng gunung Merapi dibuat penasaran oleh kisah Mak Lampir di televisi. Apa ia benar ada? Dimana? Kenapa tidak pernah sekalipun ia temui?
Nah, disinilah kehadiran uang dan barang-barang, seperti yang ditulis dengan apik oleh Aditya Dipta Anindita dalam pengantarnya, memanipulasi pikiran manusia-manusia Indonesia. Kehadiran barang-barang "baru" yang membuat manusia membuat manusia mengalihkan pemenuhan kebutuhannya dari alam kepadanya dan pada titik inilah uang menjadi penting: Penguwar lebih memilih buah imitasi Jas Jus dari pada memetik sendiri buah-buahan segar di hutan, ketika tak ada lagi hutan dan sungai tempat bermain di desanya maka Fakri harus membayar sewa play station.
Uang dan pasar jugalah – didukung teknologi informasi dan transportasi – yang mempertemukan manusia di berbagai tempat dalam pengalaman yang sama. Penguwar yang tinggal di hutan Jambi menikmati Jas Jus yang juga diminum oleh Agnes Monica di Jakarta. Fakri bermain play station seperti halnya anak-anak di Jepang sana. Konon, para pakar dan pemikir menamakan proses ini sebagai globalisasi.
Menurut mereka, globalisasi adalah suatu sistem budaya yang global, yang mendunia. Artinya, di belahan dunia manapun kita berada, pasti akan terkait dalam satu jaringan besar. Kita semua adalah bagian dari mata rantai, saling mempengaruhi.
Tentu ada dua sisi yang didapat dari proses ini: positif dan negatif. Kebetulan Penguwar, Sipar, Qodir, Haposan, Fakri dan Bu Sukenti termasuk yang tidak beruntung karena alam di sekitar mereka tak lagi ramah dan bersahabat.
Di lima lokasi dan persoalan yang berbeda tersebut, terdapat benang merah yang sama yaitu anak dan perubahan lingkungan yang setelah ditelusuri sebab-akibatnya, disimpulkan satu persoalan besar yaitu hukum keterkaitan dunia tadi. Lalu jadilah buku ini agar kisah Penguwar, Sipar, Qodir, Haposan, Fakri dan Bu Sukenti dapat menjadi renungan bersama.
Rasanya tak perlu menunggu 30 tahun – sebagaimana Bu Sukenti – untuk menyadari perubahan alam di sekitar kita. Kita sadar mulai dari sekarang!