Jam Karet: Sebuah Budaya?

| November 28, 2008 | Sunting
East meets West
Entah kepada siapa aku harus bercerita, tetapi intinya aku sedang dhongkol banget dengan jam orang Indonesia, jam yang suka molor, kaya karet! Huh!

Begini asal ceritanya, tadi pagi ada kegiatan penghijauan di Karangasem yang salah satunya dihadiri oleh bupati. Nah, karena rombongan si bupati akan melewati jalan depan sekolahku, maka siswa-siswa disuruh untuk membuat pagar manusia di depan sekolah untuk memyambut mereka - yang begini ini warisan jaman Pak Harto ya?, apalagi si bupati adalah alumni sekolahku.

Dan... Mulailah kegiatan tidak penting dan membuang-buang waktu itu: menunggu lewatnya rombongan bupati di jalan depan sekolah - yang mana sepertinya hanya Allah yang tahu kapan tepatnya.

08:00: Siswa-siswa sudah berbaris, rapi sekali. Pak Medi, Wakil Kepala Sekolah kami, mengumumkan bahwa rombangan bupati akan melintas pukul 08:30. Para siswa diharapkan agar tetap rapi. Ketika rombongan melintas, kami juga harus melambai-lambaikan tangan. 

08:18: Satu dua siswa sudah mulai jongkok, kipas-kipas, garuk-garuk kepala. Bahkan Guntur dan Alfiab malah ke kantin membeli es. Kami sudah seperti cacing berseragam putih abu-abu yang dijemur pagi-pagi. Dan mataharipun sedang tanpa mendung sedikitpun, walhal pagi-pagi kami sudah harus berlumur keringat deh.

08.30: Jalanan lengang. Tanda akan datangnya para punggawa belum juga terlihat, aah. Pak Medi meminta kami bersabar, sambil menyanyikan mars sekolah. Warga, Prabawiyatama... SMA Negeri Cawas nyata...

08:42: Aku sudah mulai kering, keriting! Dan juga sudah tidak kuat berdiri. Baju dalamku basah, kecut banget! Beberapa anak malah sudah masuk kelas.

09:03: Aku sudah tidak kuat menahan semua beban ini #eh, maksudku panas - haus - keringat bercucuran. Sehingga, kembali ke kelas lah aku. Menyalakan kipas angin lalu minum es. Ah...Segar.. Teman-teman bermain gitar. Aku sempat tertidur.

Lalu bagaimana dengan rombongan bupati yang rencananya mau lewat?

09:32 Sirine mobil polisi terdengar meraung-raung. Rombongan bupati Klaten, Sunarna yang terhormat, ternyata. Itupun kabarnya tanpa melambatkan laju mobilnya sedikitpun. Beberapa detik saja melintas, lantas melaju terus ke arah selatan. Itupun kami tidak tahu, apa benar-benar bapak bupati yang lewat. Kaca mobilnya terlalu gelap untuk kami intip, pun ianya melintas dalam sekejap. Lebih dari itu, kamipun sudah bacut dhongkol karena JAM KARET!

Menyedihkannya, jam karet ternyata bukan hanya milik si pak Bupati. Jam tak berwujud ini rasanya sudah menjadi budaya yang mengakar di masyarakat. Dalam membuat janji misalnya, kita jarang menyebutkan jam secara spesifik dan lebih memilih menggunakan jawaban seperti, "Habis Dhuhur ya!", "Bar Maghrib yo...". Pertanyaannya, sampai kapan kita mau begini?

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine