Mengapa Berhenti?

| Juli 22, 2008 | Sunting
Mimpi itu seperti lorong yang mengantarkan manusia melintasi masa
Banyak orang memegang anggapan skeptis tentang pendidikan Indonesia dewasa ini: "Untuk meraih pendidikan yang layak harus memerlukan dana besar. Sehingga untuk ORANG MISKIN DILARANG BERCITA-CITA TINGGI!!!" Ironis memang.

Dalam buku Laskar Pelangi karangan Andre Hirata yang baru saja rampung saya baca terdapat tokoh Lintang. Sejak SD dia sudah akrab dengan Newton, Archimedes dan sebagainya. Menjelang SMP dia telah khatam kalkulus dan menguasai teorama-teorama yang diajarkan di perguruan tinggi. Siapakah Lintang?

Dia adalah anak seorang nelayan miskin dari sebuah keluarga yang buta huruf dan harus menelan kenyataan pahit: meninggalkan bangku sekolah sebelum tamat SMP. Saat dewasa nasib meletakkan Lintang pada bedeng-bedeng kumuh di pinggir laut sebagai sopir atau kadang sebagai kuli angkut. Potensi besar tak menjamin kesuksesan seseorang. Dan kemiskinan pula yang menjadi monster yang acap kali melenyapkan kesempatan.

Ikal, tokoh aku dalam novel ini mengalami nasib yang lebih mujur. Dia yang selalu nomor dua setelah Lintang malah sukses melanglang buana sampai Paris. Menginjakkan kakinya ke altar Sorbonne, tempat Piere Curie, Marie Curie, bahkan tempat Leonardo Da Vinci menimba ilmu.

Ikal juga miskin tetapi memiliki keberanian untuk menaklukkan tantangan demi tantangan. Dia orang pedalaman namun tak memosisikan diri sebagai inferior. Dia memiliki semangat dalam dada yang menggelora.  Ikal merasa bersalah atas keadaan pelik yang ditanggung Lintang. Potensi Lintang yang terkubur mubazir mencambuk Ikal untuk terus menggali dan menggali semua kelebihannya.

Ketika mendobrak hambatan, dalam sanubari barangkali tercetus postulat Newton II tentang hukum aksi-reaksi. Bahwa perbuatan ada balasan. Ada kebaikan ada imbalan. Ada usaha ada hasil. Jadi?
Mengapa berhenti bercita-cita, Bujang? Pahamkah engkau berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia?
Begitu kata Pak Muhtar, kepala sekolah Ikal, seperti termaktub dalam buku kedua empat buku Laskar Pelangi: Sang Pemimpi.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine