Mimpi itu seperti lorong yang mengantarkan manusia melintasi masa |
Dalam buku Laskar Pelangi karangan Andre Hirata yang baru saja rampung saya baca terdapat tokoh Lintang. Sejak SD dia sudah akrab dengan Newton, Archimedes dan sebagainya. Menjelang SMP dia telah khatam kalkulus dan menguasai teorama-teorama yang diajarkan di perguruan tinggi. Siapakah Lintang?
Dia adalah anak seorang nelayan miskin dari sebuah keluarga yang buta huruf dan harus menelan kenyataan pahit: meninggalkan bangku sekolah sebelum tamat SMP. Saat dewasa nasib meletakkan Lintang pada bedeng-bedeng kumuh di pinggir laut sebagai sopir atau kadang sebagai kuli angkut. Potensi besar tak menjamin kesuksesan seseorang. Dan kemiskinan pula yang menjadi monster yang acap kali melenyapkan kesempatan.
Ikal, tokoh aku dalam novel ini mengalami nasib yang lebih mujur. Dia yang selalu nomor dua setelah Lintang malah sukses melanglang buana sampai Paris. Menginjakkan kakinya ke altar Sorbonne, tempat Piere Curie, Marie Curie, bahkan tempat Leonardo Da Vinci menimba ilmu.
Ikal juga miskin tetapi memiliki keberanian untuk menaklukkan tantangan demi tantangan. Dia orang pedalaman namun tak memosisikan diri sebagai inferior. Dia memiliki semangat dalam dada yang menggelora. Ikal merasa bersalah atas keadaan pelik yang ditanggung Lintang. Potensi Lintang yang terkubur mubazir mencambuk Ikal untuk terus menggali dan menggali semua kelebihannya.
Ketika mendobrak hambatan, dalam sanubari barangkali tercetus postulat Newton II tentang hukum aksi-reaksi. Bahwa perbuatan ada balasan. Ada kebaikan ada imbalan. Ada usaha ada hasil. Jadi?
Mengapa berhenti bercita-cita, Bujang? Pahamkah engkau berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia?
Begitu kata Pak Muhtar, kepala sekolah Ikal, seperti termaktub dalam buku kedua empat buku Laskar Pelangi: Sang Pemimpi.