Dimensi Lain Tahun Baru

| Januari 01, 2009 | Sunting
sungguh merupakan seremoni yang sudah menjadi sebuah tradisi tak tertulis tentang berbagai acara menyambut tahun baru. tetapi yang pati adalah pesta kembang api di sana-sini ataupun gegap gempita terompet yang menghadap setiap telinga mendengarkan. tiada yang tahu siapa yang memulai dan tiada yang tahu pula apa yang terjadi apabila tradisi ini tak dilakukan. tetapi ada sesuatu yang lain dalam euphoria perayaan tahun baru kali ini.

di sebuah desa kecil di pelukan pegunungan seribu. sunyi senyap tetap meraja bahkan tak banyak yang tahu apabila ada prosesi yang dinamakan tahun baru, yang mereka tahu hanyalah bahwa kalender kusam iklan sirop ataupun iklan makanan yang tergantung di dinding rumah mereka harus segera diganti. yah hanya sesederhana itu karena memang hari itu tetap saja sama dengan hari-hari lainnya, tak ada yang istimewa satupun. sedari subuh mereka tetap saja kudu bangun pagi-pagi dan kemuian segera turun ke sawah dan ladang unyuk merawat tanaman penghidupan mereka, sedari pagi para wanita juga tetap berkecimpung dengan cucian mereka yang menggunung di sumur belakang rumah. yah sama dengan hari-hari mereka.

di tahun yang baru ini jangankan bermewah-mewah dalam pesta, apa yang akan mereka makan esok pagi saja masih menjadi pengganjal dalam benak mereka, juga bagaimana dengan susu bayi mereka, bagaimana dengan uang saku anak mereka yang tentunya akan merengek-rengek memintanya esok pagi sebelum berangkat sekolah seraya mencium tangan mereka dengan mesra. yah sama saja dengan kemarin, kala 2008 masih terpampang dalam kalender tahunan.

yah mungkin mereka tak terlalu memikirkan sudah tahun berapa ini karena memang benak mereka telah tersita untuk memikirkan bagaimana cara supaya mereka tetap bisa bertahan hidup karena masa yang sulit tlah memaksa mereka memandang tahun demi tahun hanyalah sama, yah hanya satu: selama kehidupan mereka masih sama dengan apa yang terjadi kemarin pagi.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine