Nasionalisme Para Penjaga Tapal Batas

| Januari 04, 2009 | Sunting
Indonesia - Rupiah Ringgit
Warga Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, yang berada jauh dari Jakarta, merasa menjadi orang asing di negeri sendiri. Tak heran, mereka lebih familiar dengan segala sesuatu yang berbau Malaysia ketimbang Indonesia.

Sehingga jangan salahkan warga yang tinggal di wilayah perbatasan seperti Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur apabila mereka lebih memilih menjual hasil buminya ke Tawau, Malaysia, ketimbang di negaranya sendiri. bahkan ampir semua hasil alam, mulai kakao, pisang, hingga padi, mereka kirim ke Tawau. Mereka tak peduli meski akhirnya harga pun dimonopoli para cukong Malaysia. "Ya, memang warga di sini menjual seluruh hasil pertanian, perkebunan, dan semua barang ke Tawau. Lebih lakulah," kata Mansyur, ketua RT 04 Desa Aji Kuning, Sebatik Barat.

Mengapa mereka lebih suka menjual barang ke Malaysia? "Mau tak mau, itu memang harus dilakukan. Memangnya di Indonesia terdapat pabrik atau pengusaha yang mau membeli atau menampung hasil pertanian warga?" lanjutnya.

Dalam masalah perbatasan dengan Malaysia, Pulau Sebatik merupakan salah satu yang menjadi sorotan. Puncaknya pada awal 2005 lalu, ketika Malaysia berani mengklaim memiliki Blok Ambalat yang berjarak hanya beberapa mil dari Sebatik. Pulau Sebatik sendiri memang terbagi dua. Separo masuk wilayah Indonesia dan sebagian yang lain milik Malaysia. Di sini juga berdiam penduduk dari dua negara. Total, ada sekitar 30 ribu jiwa yang tinggal di pulau ini.

Ketegangan saat ini memang sudah mereda. Tapi, yang tersisa justru sesuatu yang lebih menyedihkan. Ketimpangan ekonomi kini menjadi persoalan baru. Sebatik yang menjadi wajah dua negara, kondisinya sangat kontras. Di sepanjang kawasan perbatasan yang ditandai dengan pilar, pos perbatasan, pepohonan, dan pagar pembatas, kondisinya jauh lebih buruk ketimbang tetangganya yang masuk wilayah Malaysia.

Bangunan rumah warga masih kumuh, jalanan hanya sebagian mulus, dan sebagian besar bergelombang. Sementara, Tawau (wajah Malaysia) terlihat seperti kota megapolitan. Gedung-gedung menjulang tinggi, jalanan tak ada yang tidak mulus, padatnya arus kendaraan juga menandai roda perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya jauh lebih baik.

Kendati demikian, bangsa Indonesia tidak perlu mempertanyakan nasionalisme mereka. Perbedaan mencolok itu tak sedikit pun melunturkan semangat warga Sebatik dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.


"Itu yang tak dimiliki warga di luar sana (di luar Sebatik, Red)," sahut Junaidi, camat Sebatik Barat. Dia mengakui, Sebatik sering mendapat kunjungan pejabat dari Jakarta. Bahkan, tak jarang pejabat setingkat menteri. Namun, kelanjutan dari kunjungan itu tak jelas juntrungnya.

"Warga di sini sudah bosan dikunjungi pejabat pusat. Tak ada solusi, tak ada tindak lanjut. Mau diapakan pembangunan di daerah ini? Tak ada kemajuan," kata Junaidi.

"Indonesia juga yang rugi. Hasil bumi berupa pertanian, perkebunan semua dibawa ke Malaysia untuk dijual. Secara tidak langsung, kami-kami ini sudah menjadi warga Malaysia," sambung Mansyur sedikit risau.

Mansyur sendiri sepekan sekali membawa pisang untuk dijual ke Malaysia. Dia minta pemerintah Indonesia segera membangun infrastruktur yang memadai. Selain jalan, yang juga sangat diperlukan adalah pabrik kelapa sawit, pabrik kakao, dan sarana penunjang lain. Tentu tak hanya membangun, tapi juga mampu mengakomodasi seluruh hasil pertanian dan perkebunan penduduk setempat.

"Pemerintah tak menyadari, mestinya sengketa Blok Ambalat itu menjadi pelajaran. Tapi, sampai saat ini tak juga ada program nyata untuk membangun infrastruktur. Yang berbeda hanya pada saat peringatan upacara 17 Agustus di lapangan sepak bola, Sungai Nyamuk. Agustus lalu, bahkan yang menjadi inspektur upacara adalah Adhyaksa Dault, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga," ucap Mansyur.

Akhirnya, yang tampak waktu itu justru warga yang berbondong-bondong menyaksikan pejabat pusat menjadi inspektur upacara. Ribuan warga dikerahkan hanya untuk mengikuti upacara.

Yang juga sangat dikeluhkan warga adalah masalah air bersih. "Warga di sini masih mengandalkan air hujan untuk mandi dan mencuci, bahkan air minum. Sesekali mengambil air sumur untuk minum yang lebih terjamin kualitasnya," kata Mansyur.

Hal yang sama dikatakan Suaib yang sejak 1983 tinggal di wilayah Malayasia. Karena kesulitan air bersih, dia mengumpulkan drum bekas untuk menampung air hujan. Kendati demikian, dia bersyukur. Meski sering menggunakan air hujan, keluarganya tetap sehat.

Mayoritas warga Sebatik memang bergantung pada Tawau, kota di wilayah Malaysia yang berjarak 15 menit perjalanan laut dari wilayah RI. Wajar jika nelayan, petani, hingga pedagang menjual hasil mereka ke Tawau. Padahal, transaksi jual beli di Tawau tidak menguntungkan. Warga tetap melakukannya karena terpaksa.

Menjual hasil bumi ke Tawau, kata Suaib, untung yang didapat tak seberapa. Menjual pisang dengan harga RM 3, untungnya hanya sekitar 50 sen. Sedangkan keuntungan menjual kakao seharga RM 4 per kilogram juga tak seberapa. Mereka juga terbiasa melakukan transaksi menggunakan dua mata uang. Rupiah dan ringgit Malayisa.

Ditulis ulang dari Jawa Pos

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine