Risalah Hujan

| Januari 09, 2009 | Sunting
hujan
hujan adalah pabrik kenang-kenangan yang menghempaskanku pada takjub kebisuan. dari gemuruhnya yang rancu, tegak kembali masa laluku : renungi celanaku kecil yang koyak itu, tertawa renyah menatap jalang gelembung-gelembung air yang disihir sang angin menuju ruang-ruang yang jauh.

celana kecilku itu tlah lumat oleh waktu, mungkin telah jumbuh didasar lautan. tapi ia kini diusung kembali ke benakku bersama tawa renyahku dan gelembung-gelembung air itu.ah hujan!!! memang sialan.

dari kertap-kertap hujan lahirlah setumpuk album kusamku yang sanggup menjinakkan sang waktu. dan, engkau yang didera bimbang: lihatlah gambar-gambarku yang rapuh itu maih lantang menampik kemusnahan yang dilempar oleh siang dan malam.

maka setiap kali aku mengunyah hujan, nasibku kan menolak dihardik kemarau. lalu rona dewasaku kan kembali ke tempatnya dan sia-sialah ia menanti tuaku. sebab hujan memang setia memegang janji untuk selalu bertandang ke rumahku.

barangsiapa mencintai hujan sejatinya ia akan takzim pada asal-usulnya sendiri. sebab darinya ia bangkit sebagai prasasti dan keabadian waktu.

lantaran itulah seringkali kubaca hujan lewat jendela atau genting kaca: aduhai jarum-jarum air itu tampil dengan aneka warna dan cerita purba.

"tetapi hujan itu ciptakan petaka melalui amuk banjir dan gelombang petaka yang aruskan air mata" kata orang-orang bingung mencari pondasi rumah mereka.

ketahuilah, bahwa banjir itu semata lahir dari batin mereka yang ambrol, sungguh!

adakah yang lebih kuat menghubungkanku dengan jiwa-jiwa ketimbang hentakan-hentakan hujan? di kebun dermanya yang jingga kupetik ribuan harpa hingga seluruh jagad raya menari-nari sampai gila.

pepohonan tumbuh oleh hujan, jiwa-jiwapun mekar oleh hujan. kepada siapa pun yang sodorkan sangsi akan kutunjukkan bahwa hujan itu adalah air mata para nabi yang berkhalwat di puncak sinai yang paling sunyi.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine