Lima Puisi untukmu Palestina

| Januari 13, 2009 | Sunting
Puisi-puisi berikut ini adalah karya Aguk Irawan MN, dimuat di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat 2008. Penulis ini berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Ia menghabiskan masa sekolahnya di Lamongan dan Tuban sebelum kemudian melanjutkan kuliah ke Universitas Al-Azhar, Kairo, jurusan Aqidah dan Filsafat.

Sebuah Pencarian

Kucari kamu
Kucari kamu dalam mimpiku, tapi aneh, kau justru lebih terlihat dari aku, dan aku semakin sembunyi, bahkan saat sepi menghimpitku, kau kurasakan bertambah besar, besar dan besar.. hingga aku merasa ganjil dengan wujudku.

Kau adalah airmataku sendiri saat menyaksikanmu melawan peluru dengan batu, saat menemukan luka lain dari luka yang sudah berlapis-lapis di tubuhmu, saat batas tanahmu direbut lalu kau berkemas diri entah mau kemana?

Negeri Terbakar

Beribu-ribu mayat tergeletak bercampur batu-batu panas dan tanah-tanah padas. kota itu jadi riuh sepi, kulihat tubuh-tubuh berjalan hilir mudik berantakan.

Jangan kalian kira hanya dua biji mata burung di awan kelam yang melihat peristiwa terselubung kabut musim dingin. akupun melihatnya mesji terpagar tujuh lapis langit dan bumi. Sebab di atas sana udara panas. karena rumah-rumah padat penduduk, gedung-gedung, kantor-kantor, pasar-pasar, terbakar.

Sengatan apinya itupun terus terkobar, hampir membubung ke separo batas langit dan bumi. bergulung-gulung turuni padang dan ladang memanjang di cuaca malam di atas gelombang angin binal.

Jangan kalian kira hanya dua biji mata ikan di laut yang melihat peristiwa penggeseran perbatasan itu. akupun melihatnya, walaupun terpagar tujuh lapis badai dan ombak. Sebab jauh di samudera sana laut panas, menjalar sampai ke desa-desa, sawah-sawah, rumah-rumah, bocah-bocah mendidih.

Jangan pernah mengira kami menutup mata dan menyumpal telinga.

Pelangi Duka

Di lembah Gaza wajah-wajah bocah berbaris di tangah tentara yang bengis seperti boneka yang terbuat dari karet dan besi saling unjuk gigi meringis dan menangis. Dengan sebatang lilin menyala, kulihat kota di remang cahaya, pemukiman tinggal kerangka. Deru huru-hara rontokkan sejarah. Atap-atap putih dan merah mulai merendah. Bendera duka berkibar pongah.

Sebuah Pengharapan

Langitnya gelap oleh darah dan jinah, di atasnya asap terus menyemburkan ratapan. ruang yang semula bisu dan bernafsu, kini runtuh berderak oleh desing peluru dan mesiu, hingga cuaca di sepenggal akhir tahunpun memerah.
Tatapan penuh harap





O, negeri menara dan mercusuar cinta, yang disana bersarang Haikal Sulaiman dan berlimpahan tanaman sejarah suci dan puluhan nabi, sampai kapan engkau akhiri jenaka ini?

O, sudahlah-sudah kalian bersandiwara untuk ciptakan kobaran api dan bermain nyawa dengan kebohongan-kebohongan ocehan. Lihat negeri yang kotanya alpa dari peta dunia itu kini sekarat dan terbakar sudah, sungai-sungai mampat air mata sudah, tanah-tanah berkeping tumpah debu sudah. Damailah dan sembunyikan apa yang gemerlap dalam dada dan tutup saja tumpukan-tumpukan mulut kalian yang penuh amarah ke dalam almari yang sudah renta usia. Kisahkan lagi tentang cerita indahnya negeri damai, sambil memandang jauh ke arah pintu nirwana.

Ya Allah, setelah rumah-rumah mereka rata dengan tanah, mereka akan berteduh di rimba raya mana? Setelah makhluk-makhluk-Mu yang jahil membombardir mereka di tiap tikungan, dan sebentar lagi kabar terdengar: mayat lagi, mayat lagi, kemudian tersusul ratusan orang berjingkrak. sungguh dada ini sesak.

Tapi kenapa Engkau biarkan mereka terus bertikai dengan saling menyebut keras asma-Mu, entah untuk apa?

Monyet Perajam

Sungguh pada mereka, monyet-monyet perajam dada yang tengah mencekik leher wanita-wanita salehah itu aku telah muak. Monyet-monyet perajam itu perlahan merenggut kepala wanita-wanita itu. Kemudian menentengnya untuk kemudian dibuat menutup nikmatnya surga atas mereka.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine