Mengapa Palestina?

| Januari 04, 2009 | Sunting
Seorang anak Palestina dan Ibunya 
Sungguh miris dengan apa yang saya lihat pada halaman depan sebuah surat kabar pagi ini yang menggambarkan seorang ibu yang duduk meratapi rumahnya yang hancur sambil merangkul anak laki-lakinya. namun tak hanya itu saja, aku juga melihat tentang kekejaman sebuah negera monyet yang telah berkali-kali di kecam oleh Tuhan dalam Qur'an bernama Israel atas sebuah negara suci yang di dalamnya berdiri sebuah masjid suci yang pernah menjadi kiblat umat islam. 

yah tiada yang tahu kapan pertumpahan darah akan berakhir di bumi yang luka itu, apalagi ketika keadaan kembali memanas akhir tahun lalu yang kemudian diikuti sebuah tragedi memilukan yang memakan korban hingga retusan jiwa selama berhari-hari. hari-hari layaknya hanyalah mesiu, molotov, bedil, meriam, dan juga darah yang anyir dalam jangkauan indera. yah aku tak tahu bahkan untuk dapat membayangkanpun sangatlah sulit bagaimana bisa menusia dapat menghancurkan sesamanya. yah sungguh payah tentang pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia. bahkan untuk sekedar membuka hati nurani mereka saja tak mampu.

kuncup-kuncup bunga layu dan menunggu luruhnya ke atas tanah. bulir-bulir air mata perlahan menghujani bumi dalam leleran darah yang meliputi tubuh-tubuh yang bergimpangan tanpa nyawa. bendera duka berkibar di antara cekaman cemas akan mesiu dan peluru yang mengancam teknguk mereka untuk segera tiarap menyelamatkan jiwa mereka.

anak-anak kecil sang malaikat surga tanpa dosa juga mendapatkan sebuah kisah kelam yang seharusnya tak terekam dalam perkembangan jiwa mereka karena memang sungguh tidak bagus pada perjalanan hidup mereka ke depannya. para ibupun pastilah sudah tujuh keliling pusingnya memikirkan masa depan anak mereka di atas bumi yang luka dan remuk karena rangkaian kekejaman dan kebiadaban tingkah polah manusia yang tak lagi menusiawi.

yah, peristiwa manusia adalah peristiwa saling mengalahkan, ataupun saling membunuh dan menikam. akankan dunia manusia telah memakai sistem rimba dimana mereka saling menikam dan menghancurkan untuk kepentingan perut? tetapi sungguh ini sangatlah lebih biadab dari semua yang ada di dalam belantara, karena disini manusia memakan sesamanya denga lebih kejam meskipun status hukum manusia lebih "manusia".

tahun-tahun belakangan ini dunia kita ini menggeliat dengan cara yang super aneh. bumi tak lagi selapang dahulu, karena betapapun yang diklaim israel atas pelestina selama ini hanyalah sepetak tanah yang iaa sendiri tak tahu mengapa mereka diperebutkan dengan kejam.bangsa-bangsa berdiri untuk mempertegas identitas dan menambahkan semangat patriotisme. setiap orang lahir dengan identitas sebagai warga negara apa dan dengan takdir yang bagaimana.

apa yang sebenarnya dimaui sebuah negara dengan mempertahankan identitasnya? saya merasa dunia selalu bergerak, tak ada yang abadi. dan peta yang memuat skala yang runut sekali pun pada periode-periode tertentu selalu berubah. tidak ada yang tetap. negara tumbuh dan berkembang, ras-ras, identitas, suku, agama memiliki cara tersendiri untuk menyatakan keberadaan mereka.apakah manusia sadar, dia akan terlahir jadi bangsa apa dan di mana?

Kisah manusia di zaman post kolonial sama saja. Darah dan darah. Dalam hukum rimba, sekali lagi, mereka, para binatang itu, membunuh, dikarenakan naluriah dan rasa lapar, sementara manusia yang berakal, dan bertuhan itu membunuh dengan dalih-dalih yang rumit. Sebagian orang membawa agama sebagai alasan, sebagian yang lain membunuh karena alasan kedaulatan, sebagian yang lain membinasakan suatu kelompok dan bangsa untuk menguasai segala sesuatu di dalamnya.Yang kuat yang berkuasa. Apa yang membedakannya dengan hukum rimba?

seandainya ada sebuah akhir tahun pembantaian dan pembunuhan, barangkali tempatnya adalah “kiamat” sebagaimana yang dipercaya orang-orang beragama. dan?? manusia sudah memulainya. alam semakin terekspoitasi dan nyaris habis sumber alamnya, manusia punah dengan cara yang sederhana dibunuh oleh alam dan sesama.saya berpikir, hidup adalah sebuah balas dendam yang terus menerus dan rutin. kiamat tercipta oleh padanya.

adakah akhir tahun untuk teror dan pembunuhan?

aku mulai memandang dunia dengan cara-cara subjektif, cara pandang yang lama digunaka sekelonmpok orang, di mana kelompok lain memandangnya sebagai pandangan minor dan rusak. bahwa, perang yang paling dominan dan terus hidup adalah perang Tuhan. Perang atas nama agama. lebih jauh lagi, saya ingin menyatakan sebuah alasan konservatif, bahwa, menurut keyakinan saya kini, saat ini, perang salib terus bergaung sampai kini.

Ibrahim, apakah sesungguhnya yang memiliki agama? nyawa ataukah tubuh? apakah nyawa yang terbang sia-sia memiliki agama dan bangsa? apakah tubuh yang bersimbah darah itu dimiliki negara dan agama setelahnya? apa yang tuhan lakukan inginkan dari ini semua? Ibrahim, jangan-jangan keinginanmu untuk “mengorbankan” Ismail atau Ishaq sepenuhnya kesadaranmu naluriahmu (yang terwarisi anak-cucumu) yang tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan, atau Tuhan sedari awal memang menyukai “main-main kemanusiaan” semacam ini dan mewariskan kepada kami, anak cucumu yang terbelah-belah ini?

Dan maut, pesakitan dan eksekutor itu memiliki agama dan bangsa. Atas nama agama dan bangsa. Ia yang mati, ia yang membunuh, sama-sama pahlawan untuk bangsa dan agamanya—setidaknya demikianlah yang dipercaya. Kebenaran tak pernah mutlak, ia ada di tiap sisi, dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Amerika benar, bahwa gerilyawan Palestina jangan menyerang Israel, jangan memancing, karena balasannya satu banding tiga puluh. Dan Ahmadinejad (siapa pun namamu, bagaimana pun susunan huruf untuk menyatakan namamu) salahnya dirimu yang menganggap negara dan bangsa Israel tak ada adalah salah besar. Tetapi apakah Amerika dan sekutunya dan Israel itu, pernah merasa bahwa Irak dan Afganistan setidaknya, memiliki kedaulatan sendiri? Bukankah sebagai sebuah negara mereka memiliki cara sendiri untuk hidup? Oh, ajarkan saya memilah kebenaran Tuan adidaya. Ajarkan bangsa kami bagaimana menjadi “penjajah” bagi orang lain, “agresi” yang bisa disebut ibadah bagi kami!

Jika teror di Mumbai, atas nama kemanusiaan kita mengutuknya sebagai tragedi, apakah di Palestina, tempat tuhan dan para nabi bersemayam itu, kita mengenangnya sebagai tragedi juga? Jika dunia diserbu teror atas nama satu agama, bagaimanakah kita menyebut tragedi pasca natal ini? Teroris, pembunuhan atau semacam alasan membela diri? Aih, apa yang membedakan agama dan bangsa dengan perang dan darah kalau begitu.

Bagiku, perang adalah perang, ia tidak memiliki agama dan bangsa. Perang sepenuhnya membunuh dan dibunuh. Dan tubuh yang bersimbah darah itu sepenuhnya tak memiliki agama, tak memiliki bangsa. Lalu, memiliki agama, pada akhirnya sebuah pilihan untuk mewarisi dendam atau membalaskannya.

Kurasa kiamat benar-benar diciptakan manusia. Jika begini, bisakah kelak, anak-anakku yang belum lahir ini bernegoisiasi dengan Tuhan untuk lahir di sebuah negara yang aman, yang melindungi warga negaranya dari serangan apa pun dan atas nama apa pun?

Surgakah itu? Benarkah “itu” ada?

Saya pikir, kata “teror” dan “tragedi” harus kita defenisikan ulang. Dan catatan saya ini adalah sebuah suara subjektif dari minoritas manusia bodoh yang memandang dunia dengan metode hitam-putih belaka.

Dan pada akhirnya, mengapa negara dan agama membuat orang menjadi pribadi yang merasa paling benar dan rela menghaburkan satu-satunya hidup yang dimilikinya? Jangan-jangan negara dan bangsa adalah sebuah agama, sudah lama menjadi agama, yang memiliki kebenaran tersendiri bagi "penganutnya".


Gambar: Zoriah

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine