Musim Telah Berganti

| Januari 02, 2009 | Sunting
Suatu ketika aku mendapati bahwa hidupku tak lagi sama. Segalanya berubah dikala aku sebenarnya ingin semuanya sama. Tetapi entah mengapa aku jadi memikirkan hal ini. Benarkah yang aku inginkan semuanya sama, atau hanya sekedar "tampak" sama?

Hari itu aku berjalan di bawah terik matahari pagi. Bumi sudah benar-benar panas. Sekarang tak ada lagi tempat yang sejuk untuk menjadi tempat tinggal atau sekedar tempat bernaung tanpa harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Segalanya menjadi terang bagiku. Tak ada yang tak bisa diperoleh dengan uang. Namun seperti kataku, jika kau tak memiliki uang, mana bisa kau membeli semuanya? Satu batang pohon saja harus kau beli dengan uang jika kau ingin menanamnya, dan batang-batang sampai ranting-ranting terkecilnya pun bisa menghasilkan yang namanya rupiah, bahkan jika kau beruntung tidak tertangkap aparat penegak hukum (yang tentunya bisa kau suap dengan lembar-lembar merah itu), kau bisa mendapatkan dollar, kau jual kepada cukong-cukong luar negeri yang dengan rela hati menadah hasil curianmu pada rakyat.

Seperti planet ini. Dia telah ada miliaran tahun yang lalu, dan bisakah kita berkhayal bahwa dia akan tetap bertahan sampai miliaran tahun lagi? Oke, pikirku, ini mungkin kelewatan untuk kalian. Berkhayal. Astaga. Hanya berkhayal saja salah. Aku tertawa, sedemikian parahnya ini? Mungkin memang sudah saatnya kita punah, karena Bumi ini sudah muak dengan kita, dengan segala perbuatan kita, dengan segala hal yang kita lakukan kepadanya, dan dengan segala tingkah polah kita. Dunia sudah muak, kawan, dengan kita semua yang mengagung-agungkan uang, dan demi uang itu pula kita berbuat tidak senonoh pada Bumi ini, memperkosanya dengan tak henti-henti, dan lihatlah apa yang dia balaskan untuk kita, salah satu teriakan pilu dari tanah yang selalu kita injak-injak dan angin yang selalu kita renggut keperawanannya tanpa mau kita bertanggung jawab terhadapnya: pagi ini panas sekali.

Aku berjalan meninggalkan rumahku yang mungil. Dari dulu aku tidak pernah menyukai rumah yang terlalu besar. Itu hanya akan merepotkanku. Itu hanya akan membuatku menuju histeria dengan pemikiran bagaimana tiap hari aku harus menghabiskan berjam-jam waktuku untuk membersihkan semuanya, dari debu-debu dan polutannya. Ataukah aku harus repot-repot memikirkan berapa banyak lagi perabotan yang harus aku beli untuk mengisi kekosongan ruangan-ruanganku yang malang. Aku hampir-hampir tidak ingin memikirkan bagaimana itu bisa dan mungkin terjadi dalam hidupku. Sekedar mencium aromanya saja aku sudah muak.

Aku berjalan menuju halte bus yang tak pernah dipakai itu, untuk menunggu bus yang tak akan pernah berhenti di sana. Kau tahu, tiap orang berpikir lebih menyenangkan jika bisa mendahului takdir, dan bukankah dengan kita berdiri 500 meter lebih awal dari halte itu (seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang kantoran dan anak-anak yang akan berangkat sekolah), orang-orang itu berupaya mendahului takdir? Benar-benar kasihan mereka semua. Banyak orang ingin hidup lama di dunia dan kalau bisa menunda kematian, tetapi mereka tidak sadar bahwa dari perbuatan mereka sehari-hari yang -tidak-mereka-sadari pula, mereka telah membiasakan diri mendahului takdir.

Aku berhenti di sana, memandang setiap jengkal jalan raya yang padat oleh kuda-kuda dan gajah-gajah besi. Mesin mereka yang terbatuk-batuk meraung-raung memenuhi udara. Kernet bus berteriak-teriak setiap busnya lewat dengan kecepatan yang mematahkan leher, dan benar saja tak ada satu pun bus yang berhenti di depanku. Klakson-klakson merendengi teriakan-teriakan mereka, dengan gusar mencari celah yang bisa dipakai untuk lewat. Tak ada satu pun yang ingin berhenti, atau mengurangi kecepatannya. Tidak ada Bung, ini Indonesia!

Pandangan mataku yang berseliweran ke segala arah akhirnya tertumbuk kepada sebuah sosok cantik yang berdiri di seberang jalan, bersiap-siap untuk menyeberang jalan jika ada kesempatan. Kesempatan yang ada ternyata tidak datang-datang. Ia mulai kegerahan. Cuaca pagi yang panas seperti ini memang menyiksa, apalagi dia hanya mengenakan tank top hitam dan celana jeans pendek ketat yang tentu saja salah digunakan dalam suasana bermandikan cahaya matahari seperti ini. Aku tersenyum geli sebab membayangkan tubuh itu akan melakukan ritual kuno setiap wanita yang takut esensi kulitnya akan menghitam: luluran.

Bagi dunia citra masa kini yang semuanya dituntut sempurna, noda titik sedikit saja pada penampilan seorang wanita, entah itu kotoran di wajahnya, make up yang tidak sempurna, ataupun cuma masalah sepele dengan baju yang digunakannya ternyata tidak matching dengan dirinya, merupakan aib yang mungkin lebih besar daripada kehilangan keperawanan. Semuanya mengaburkan batas-batas manusiawi seseorang. Perusahaan multinasional yang bergerak di bidang kosmetik, penampilan, baju-baju dan aksesoris lainnya, menganggap bahwa tiada yang lebih penting dari citra diri, dan melakukan aneksasi dan indoktrinasi terhadap setiap wanita di dunia bahwa kecantikan lahiriah lebih penting daripada kecantikan batiniah. Mereka yang bergerak di bidang ini selalu berdalih bahwa tidak semua itu benar, dan mereka muncul dengan konsep putri-putrian, seperti Miss Universe, Miss World, Puteri Indonesia, dan sebagainya, dan banyak yang menarikan lagu-lagu manis mengenai pentingnya konsep Brain, Beauty, Behaviour. Tetapi nyatanya, jika kau tidak cantik, kurus, ataupun berdada besar, kau tidak mungkin jadi Miss Universe. Memangnya aku bodoh?

Wanita cantik itu kemudian tampak tidak sabar lagi. Dia kini nekat menyeberang tanpa menghiraukan bagaimana padatnya kendaraan yang berseliweran dengan kecepatan tinggi. Ia mulai berjalan, dan hampir saja terserempet motor. Sang pengguna motor itupun langsung membunyikan klaksonnya dan memaki-maki. Wanita itu dengan refleks mundur sambil memegang dadanya yang aku tahu pasti berdebar keras. Beberapa kali dia masih mencoba untuk menyeberang, tetapi berkali-kali pula ia mengurungkan niatnya, dan tampaknya dia lelah dan kemudian berpindah tempat beberapa meter, seakan-akan dari sana dia dapat menyeberang dengan aman.

Aku hanya tertawa kecil melihat kenekatan wanita itu, dan kemudian duduk di kursi halte yang sudah rusak. Hanya dua orang yang berada di sana bersamaku. Seorang wanita yang tampaknya pekerja kantoran, berharap bus yang dia maksud segera datang, karena jika tidak, dia akan terlambat dan konsekuensinya logis. Di dekatnya duduk seorang anak SMA dengan dandanan menor dan sekilas kalau aku tidak melihat seragamnya tadi, pasti aku sudah salah sangka dia adalah pemain ketoprak yang kepagian mau datang ke venue.

Aku merogoh ponselku, dan kemudian mencoba menghubungi sebuah nomor. Aku ada janjian dengan seseorang yang akan menjemputku di tempat ini, tetapi dia belum juga datang. Atau aku yang kepagian? Dia memang tidak kusuruh untuk langsung ke rumah, sebab tidak enak menyambut seseorang ketika rumahmu sedang dalam perbaikan total, dan betapa tidak menyenangkannya kemudian kalau kau menyambut sang tamu dekat berbagai kantong semen yang memenuhi ruang tamuku. Ya sudah, kuputuskan untuk menyuruhnya menjemputku di tempat ini dan kami akan pergi ke suatu tempat dimana kami dapat berbicara dengan enak.

"Halo." Suara di seberang terdengar berisik, mungkin dirinya sudah di jalan raya. "Bentar, aku hampir sampai."
"Oke." Aku mematikan ponselku, dan mengalihkan pandanganku ke arah lain. Sejenak kemudian aku melihat ke arah kedua wanita dan akan SMA itu tadi, tetapi keduanya sudah menghilang. Kini aku terkesiap ketika wanita cantik yang mau menyeberang tadi duduk di sebelahku dan hanya kami berdua di sana. Sekilas dia melihat ke arahku, dan mata kami beradu. Lantas kupalingkan mukaku dengan cepat agar aku tidak dikira memperhatikan dirinya dari tadi. Andai dia tahu apa yang kupikirkan tadi tentangnya, tentu dia akan marah-marah kepadaku.

"Tidak apa-apa kok mas, memang habis ini aku sampe rumah langsung luluran kok. Mungkin mas juga perlu pakai."

Aku, yang tidak mengira kata itu muncul, kusangka telingaku salah dengar, atau mungkin telingaku (diriku ini, maksudnya), hanya ingin mendengarkan apa yang ingin kudengar (betapa repotnya semua ini), atau mungkin aku sudah kehilangan kesadaran dan bermimpi? Aku kemudian dengan gerakan lambat menoleh kepadanya. Wanita cantik itu hanya tersenyum, senyum yang bisa menggetarkan hati setiap pria manapun. Aku tergagap, berusaha menyembunyikan kekagokanku, dan kemudian dengan sangat-salah-tingkah aku bahkan tidak berusaha untuk membalas senyumnya.

Suara bus yang menderu terdengar dari kejauhan. Dia kemudian menoleh, dan kemudian dengan bersamaan pun kutolehkan kepalaku ke arah yang dia tuju. Tampak bus yang dia maksudkan, dan kemudian ketika aku berpaling kepada wanita cantik itu lagi, aku tidak melihatnya di sampingku, tetapi dia telah berdiri di dekat jalan raya dan berusaha memberikan sinyal kepada bus itu untuk berhenti. Ajaib (atau mungkin setiap pengemudi bus memang mendahulukan wanita cantik dalam listnya untuk diangkut? Aku tak tahu pasti), bus itu berhenti tepat di dekatnya. Kernetnya turun dan berusaha membantu wanita itu. Tentu saja ini cuma taktik untuk mendapatkan "keuntungan" sesaat darinya karena kulihat wanita itu tidak perlu dibantu apa pun. Sesuatu yang berkilauan kemudian jatuh ke tanah, dan sebelum sempat apa-apa, bus itu berderu lagi. Aku berlari-lari kecil mendekati benda itu. Ternyata itu adalah ponsel, mungkin tidak sengaja jatuh dari kantong wanita itu. Aku kemudian mengalihkan pandanganku ke arah bus itu, yang sudah tidak kelihatan lagi. Percuma sekarang aku mencoba mengembalikannya.

Aku lantas kembali ke halte tadi, dan berusaha membuka ponsel itu. Untung saja ponsel itu tidak rusak atau hancur karena jatuh ke tanah tadi, hanya tergores di layarnya saja. Aku sedang mengamatinya dan berpikir siapa yang ada di phonebook-nya yang akan aku hubungi untuk mengetahui di mana rumah wanita itu sehingga aku bisa mengembalikannya ketika deru motor menghampiriku. Temanku telah datang. Segera aku masukkan ponsel itu ke sakuku.

"Menunggu lama? Maaf, benar-benar macet."
"Tak apa-apa," kataku. Aku lantas menghampirinya, dan berjabat tangan dengannya. Sesaat kemudian aku sudah menggunakan helm dan menantang keramaian jalan raya, melupakan sejenak urusan ponsel wanita cantik itu. Nantilah jika aku sempat aku akan kembalikan kepadanya.

Hanya saja, yang aku tidak tahu, bagaimana dia bisa mengerti apa yang aku pikirkan tentang dirinya? Mind reader, begitu? Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku, sementara matahari pagi yang panas dan asap kendaraan menyambutku dalam pelukannya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine