Tradisi Suronan Tak Lekang oleh Zaman

| Januari 05, 2009 | Sunting
bulan suro dalam penanggalan jawa atau muharram sesuai kalender islam adalah bulan pertama tahun qomariah yang oleh masyarakat jawa sendiri dikenal sebagai candra purwakaning warsa atau bulan pembuka tahun. pada masyarakat jawa sendiri bulan suro dianggap sebagi bulan keramat, gawat, dan penuh bala. sesuatu yang biasa tentunya pada masyarakat jawa yang masih sangat memperhitungkan apa itu hari baik dan hari buruk (semua ini terlepas dari perspektif agama tentunya).

saking keramatnya bulan ini dimata masyarakat jawa, secara turun temurun masyarakat jawa mempercayai bahwa pada bulan suro tidak boleh diadakan pernikahan, khitanan, dan pembangunan rumah karena dianggap hanya akan membawa bala bencana bagi para pelakunya. bahkan, pada sebagian orang tua mereka akan sangat was-was apabila anak mereka ada yang waktunya melahirkan di bulan suro. konon bayi yang akan lahir itu bakal diambil oleh batara kala dan akan dibuang ke istana durga di setra gandhamayit. 

yah sudah tak heran tentunya apabila ini ada dalam masyarakat jawa karena memang masyarakat jawa adalah komunitas yang penuh klenik dan membagi dunia menjadi bagian bagian yang tak terlihat dan yang terlihat.tetapi terlepas dari semua itu, bulan suro tetaplah bulan keramat yang sangat diagungkan dalam konteks penghormatan terhadap bulan ini. berbagai prosesi digelar di bulan ini. prosesi bulan suro dimulai sejak permulaan bulan, yakni pada malam satu suro. tradisi seperti "kungkum" atau berendam dalam air mungkin sudah sangat populer di masyarakat dengan tempat favorit kayak pertemuan kali oya dan kali opak di jogja. selanjutnya prosesi bulan suro tuh diikuti ama tradisi "grebeg ageng suro" utamanya di kraton jogja dan solo, dan umumnya di beberapa daerah lainnya. selain kedua di episentrum tampuk pemerintahan tersebut juga acap kali di gelar di dua episentrum pendulum alam, yakni di merapi dan pesisirselatan, seperti bakti pisungsum jaladri dan larung ageng merapi.

dari berbagai tradisi tersebut, kita dapat melihat dan menyimpulkan bahwa tradisi suro sudah sangat mengakar dan bahkan menjadi sebuah identitas masyarakat yang tak lekang oleh waktu. lalu kira-kira mengapa hal ii bisa terjadi apalagi mengingat akan gencetan sekularime dan globalisasi yang terbukti manjur mendesak paham ketimuran?

yang pertama pastinya adalah masih adanya ketaatan masyarakat jawa atas tradisi ini dengan berbagai alasan. dan yang kedua adalah tradisi suronan sangatlah fleksibel. mengapa saya bilang demikian? berikut ini buktinya:


dari gambar tersebut kita dapat melihat betapa salah satu tradisi yang berkembang dalam masyarakat, yakni kenduri pada tanggal 5 atau 10 suro, tidak seperti upacara-upacara lain yang terkesan tertutup bahkan juga menakutkan karena dilakukan pada malam hari. terlihat diadakan dalam ruang yang terang. dan yang lebih penting adalah anak-anakpun diperbolehkan mengikuti setiap detik dalam jalannya upacara karena ini tentu dapat mengenalkan budaya kepada mereka sejak kecil. karena bagaimanapun bukankah menanam sebuah pohon lebih bagus apabila ia ditanam sejak kecil, bukan ketika sudah tua dalam arti mencabut pohon yang sudah besar untuk ditanam kembali??

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine