Seloroh Angin Duka

| Januari 11, 2009 | Sunting
sungguh sangat memilukan kala tahun ini kita didera duka saat bulan belum juga beranjak dari januari. yah, terang tak menegur, bergeser agak ke samping ketika kita mencoba berburu cahaya.

udara bergoyang perlahan mengurai lingkaran malam dan gerat-gerit dingin untuk kabarkan bahwa bencana sudah datang silih berganti. menjadi dagangan laris di koran-koran dan layar kaca.

angin pagi mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas, seolah tak ingin mengusik hening hari yang tinggal kerangka. angin hanya berdebum kecil tuk sekedar hantarkan doa agar alam terselamatkan dari haru biru yang meragi dalam sumsum. bergeser sedikit demi sedikit dalam bangkai waku agar tak membawa aroma anyir darah yang tertumpah, tergelegak dalam hitungan yang tak terhitung oleh cangkir. mungkin inilah apa yang dikatakan oleh para juru nujum tentang golek keramat yang patah bersimbah darah.

angin seakan berjingkat ketika melewati tenda rombeng yang berisi anak-anak kecil tengah meringkuk kedinginan dengan secuil kain lusuh membungkus tubuhnya (ataukah hanya tersangkut pada sejengkal tubuh mereka?) inilah angin yang telah menebar tolerir, iba juga bahkan karna bagaimanapun tak mungkin tega mereka membuat anak-anak itu mati dalam tubuh kaku biru mati karna kedinginan. sehingga sungguh pantang mereka menerobos dinding kusam berlubang-lubang karena mereka tak dibutuhkan disana. lebih baiklah mereka menyambangi rumah-rumah gedongan para penggede, karena disana angin lebih dibutuhkan untuk dinginkan pikiran mereka atas rasa lelah mereka pikirkan kasus penggelapan uang rakyat, bahkan juga uamg atas anak-anak yang tengah meringkuk di kolong dipan itu dari kantung dana belajar.

pun sang angin tak pernah lelah membawa rintihan kaum tertindas ke 'atas' sana, walau kemudian karna hanya 'kabar angin' tiadalah digubris berita yang datang dari relung jiwa yang lara. itulah sang angin yang kemudian menjadi perantara tanpa biaya. tapi tak ingin sedikitpun mereka dipajang di halaman depan koran-koran lokal, karna sungguh hanya tak inginlah mereka menjadi pongah dan seperti angin ribut teman mereka

:PEMORAK PORANDA

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine