BOHONG

| Desember 24, 2008 | Sunting
Hidumg panjang si Pinokio
Kau pernah berbohong? Aku pernah. Bahkan mungkin sering. Bila kau tanyakan pada siapa aku pernah berbohong? Aku tak bisa mengingatnya lagi. Ingatan kita selalu pendek soal kealpaan, bukan? Dan kapankah aku pertama kali berbohong? Aku juga tak ingat kapan persisnya, tetapi itu kulakukan pada ibuku, di suatu sore yang membuat dadaku berdebar dan tubuhku gemetar.

Ibu melarangku bermain di sawah. Sejujurnya dengan alasan yang tak bisa kuterima dan tak sepenuhnya kumengerti. Tetapi teman-temanku semuanya main di sawah; memburu layang-layang atau sekedar menyusuri pematang. Dan aku terkucil karena berhari-hari menolak ajakan mereka bermain ke sana. Aku teguh pada apa yang di pesankan ibu padaku, tetapi pilahan itu adalah pilihan yang (me)sulit(kan).

“Ah, banci!” Kata temanku mengejak.
“Tapi Ibu melarangku bermain di sana.”
“Ayolah, ibumu nggak akan tahu, kan?”
 


Ya, ibu memang tak akan tahu sekalipun aku tak harus menyelinap belukar untuk bermain lumpur di sawah. Ibu tak pernah kemana-mana selain di rumah. Maka kuputuskan untuk melampaui “batas” yang ibu buat untukku. Diam-diam, aku menyelinap belukar, dan memandang sawah yang terbentang. Seorang teman menarik lenganku, “Ayo kita mencuri tomat!” katanya.  

Mencuri? Aku baru saja melakukan kesalahan pertama, haruskan kesalahan kedua segera menyusul? Rupanya memang begitu. Sekali pintu kesalahan terbuka, pintu lainnya begitu menggoda. “Aku tak ingin mencuri tomat!” Ucapku pada seseorang yang keluar dari dalam diriku dan setengah berlari mengikuti temanku si pencuri tomat. “Ayolah, sekali saja.” Katanya sambil terus berlari, menyunggingkan senyum mengejek di ujung bibirnya—seperti seseorang yang berkata, kau laki-laki pengecut.  

Lalu dengan dada yang berdebar, aku pun mencuri tomat.
*** 
Berkali-kali aku menembus sawah, berkali-kali aku mencuri tomat. Dan kini kami harus pulang melewati batas senja karena kami ketahuan oleh paman penjaga petak tomat ketika sedang berusaha mencurinya. Kami harus mengahadapi sidang susila di depan gubuk paman penjaga tomat.

“Oh, jadi kalian yang suka mencuri tomat!?” Bentaknya pada kami. Dadaku berdebar hebat. Andai saja bisa kuakali waktu, aku ingin menolak ajakan temanku dulu untuk melanggar pesan ibu. Andai saja bisa kuputuskan nadi waktu.

“Bukan, bukan, Paman. Kami bukan pencuri. Kami hanya mengambil tomat-tomat yang busuk untuk bermain perang tomat.” Salah seorang temanku membela diri.

“Ah, alasan!” Katanya. “Aku akan melaporkan kalian pada orang tua kalian masing-masing!”

Deg! Tiba-tiba aku sesak napas. Aku tak mau melukai perasaan ibuku. Aku tak mau membuat ayahku malu. Ah, andai saja bisa kuakali waktu. Aku menyesal, sedalam-dalamnya. Ah, tetapi penyesalan hanyalah orang suci yang entah pergi kemana ia sebelumnya.

Setelah berjanji tak akan mencuri tomat lagi, kami dilepaskan dengan sebuah ancaman; kalau sekali lagi ketahuan mencuri tomat, paman penjaga petak tomat tak akan segan melaporkan kami pada orang tua kami.
***
Menjelang adzan Isya, kami baru pulang ke rumah masing-masing. Dan Ibu marah padaku.


“Kamu kemana saja?” Tanya ibu.
“Main, Bu.” Jawabku agak lesu.
“Main dari mana jam segini baru pulang?”
“Eh… mmm… Dari rumah Ruli.” Tiba-tiba aku mendapati diriku menjadi pembohong hebat. Ah, dadaku kembali berdebar tak karuan. Aku bohong lagi pada ibu.
“Kenapa pulangnya malam begini?”
“Eh… mmm… ya main aja. Keasyikan. Aku mau mandi, ya, Bu?”
“Ya.”
 


Sore itu, aku jadi pembohong hebat. Aku tak tahu apakah bohong semacam itu mendapat dosa yang utuh? Aku tak berbohong, aku hanya tidak mengatakan yang sebenarnya, atau aku hanya mengatakan sebagiannya saja. Aku pikir Tuhan tahu kalau kebohonganku kali ini adalah kebohongan untuk menjaga perasaan ibu, dan kebohongan seperti itu ada sedikit kebaikannya. Tapi, apakah malaikat tahu bahwa kebohongan yang dilakukan untuk menjaga perasaan orang lain harus mendapat diskon karena ada sisi baiknya? Mudah-mudahan malaikat tahu.

Sejak itu, aku jadi terbiasa berbohong. Bahkan aku tak ingat soal apa saja kebohongan yang pernah kulakukan. Hanya, pikirku, kebohongan-kebohongan yang kulakukan canderung bisa dimaafkan. Misalnya, sewaktu kelas 3 SD, aku berbohong pernah pergi ke Jakarta ketika ibu guru bertanya siapa yang pernah ke Jakarta. Semua teman sekelasku mengacungkan tangan. Kecuali aku. Dengan terlambat aku mengacungkan tangan. Mungkin kebohongan semacam itu dosanya sedikit, ibu gurulah yang sebenarnya salah. Mengapa harus menanyakan hal-hal yang bisa membuat sebagain muridnya menjadi malu? Atau mungkin seharusnya begini: mengapa membuat pertanyaan yang mungkin membuat sebagian muridnya berbohong? Semua murid mengacungkan tangan waktu itu, dan aku tak tahu siapa yang sama berbohong sepertiku?

Tapi rupanya kebohongan tak akan membiarkan kita losos begitu saja. “Fahd, ke Jakartanya ke mana?” Tanya ibu guru. Ah, aku tak mungkin menjawab tidak tahu, kan? Aku ingat pernah menonton siaran soal Taman Impian Jaya Ancol. “Ke Ancol, Bu!” Jawabku.

“Wah, aku juga pernah ke sana!” Sahut Rendi. “Kamu naik Bianglala, kan?”
“Iya, donk!” Jawabku yang semakin fasih berbohong.
“Asyik ya?”
“Iya!” 

Ah kebohongan-kebohongan itu semakin tak bisa kulepaskan dari diriku. Sejak itu aku jadi tahu, kebohongan yang kecil sekalipun, meski sudah didiskon karena kita melakukannya untuk menjaga perasaan orang lain—atau perasaan kita sendiri, tetapi bisa jadi besar kerena jumlahnya yang banyak. Kebohongan tak bisa dihentikan. Aku tahu itu setelah kami selesai mengobrol panjang soal Jakarta dan Taman Impian Jaya Ancol yang hanya kulihat di TV itu.
***
Kali ini aku berbohong. Kebohongan yang kecil, sebenarnya. Tetapi kusadari merupakan bagian lain yang tersambung dengan kebohongan pertamaku dulu. Aku kecewa karena kali ini dadaku sudah tak berdebar lagi ketika berbohong. Apakah aku sudah menjadi pembohong hebat—yang bahkan tak akan terdekesi oleh mesin pelacak kebohongan karena tak ada debar yang istimewa? 

Aku tak tahu. Aku hanya kehilangan debar itu. Debar yang membuatku tak bisa tidur semalaman dan memaksaku berjanji tak akan berbohong lagi. Kau pernah berbohong? Aku sering. Bila kau tanyakan pada siapa aku pernah berbohong? Aku tak bisa mengingatnya lagi. Ingatan kita selalu pendek soal kesalahan-kesalahan, bukan? Dan kapankah aku pertama kali berbohong? Aku juga tak ingat kapan persisnya, tetapi itu kulakukan pada ibuku, di suatu sore yang membuat dadaku berdebar dan tubuhku gemetar. Seperti sudah kuceritakan kepadamu.

Bila kau pernah berbohong, pernahkah kau dibohongi? Ah, rasanya kita tak bisa lepas dari kebohongan-kebohongan. Berbohong-dibohongi. Kau bahkan tak tahu bahwa sejak tadi aku membohongimu dengan cerita soal masa laluku, bukan? Apa kau juga pura-pura membacaku dan berkomentar soal cerita-ceritaku?

Aku juga tak tahu.

dari sini

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine