Keajaiban Gema

| Desember 03, 2008 | Sunting

Suatu hari, ketika tengah berjalan menuruni bukit selepas  mencari jambu mete, kakiku terpeleset. Aaaahh. Terang saja aku memekik keras. Kaget. Meski tidak sampai terguling, pantatku terhunjam ke tanah.

Belum juga hilang kagetku, aku mendengar pekik dari kejauhan. Aaaahh. Kulihat sekeliling. Sepi. Tidak ada siapapun kecuali pepohonan. Hari memang sudah cukup sore, para penggarap ladang pasti juga sudah pulang.

Siapaa? Aku berteriak. Hening beberapa saat, sebelum kumendengar teriakan serupa dari jauh. Siapaa? Aku mengernyitkan dahi. Sebelum kusadari bahwa itu tadi ternyata pantulan suaraku sendiri. Gema.

Aku jadi teringat nasihat seseorang. Bahwa hidup manusia tak ubahnya seperti konsep gema. Apabila kita menyerukan segala hal yang baik, maka hal baik pulalah yang akan kembali ke kita.

Pun sebaliknya, ketika kita merutuki diri sendiri dengan berbagai umpatan, maka umpat pulalah yang akan kembali ke diri kita.

Sehingga jangan pernah bermain-main dengan apa yang kita suarakan. Pikirkan juga bahwa apapun itu, akan ada imbas gema yang kita terima. Kita tak ingin menerima imbas gema yang buruk bukan?

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine