Panggilan Kata-kata

| Desember 02, 2008 | Sunting
sepeninggalmu kelak, tak akan ada lagi yang menulis sajak buatku. aku tahu betapa dikau inginkan kehadiranku dalam setiap sajakmu. tetapi kau kan pergi setelah berakhirnya malam. dan ketika matari muncul pagi hari, kau telah tiada dengan membawa seta sebagian kisah pertemuan kita. awan bergerak lamban, kau lihat betapa tanda hujan awali malam. langit mencampur biru prussian dengan jerit samar camar yang terlambat pulang ke sarang di pulau karang perawan. laut tidur dengan lelap yang diperoleh dari napas langit yang lembut seperti selimut bulu yang pantulkan bayang pudar pada padang gerimis.

ada kapal lewat. tenang sekali, seolah ingin katakan pada kita bagaimana cara terindah mengganti kerlip bintang dengan cahaya lampu petromaks. rumah nelayan di seberang serasa dingin dan pilu... dekat jendela kacanya yang basah bergaram kami duduk pandangi lautan. kukenang sebuah rumah berpagar hijau lumut. ada halaman luas alamanda memanjat cemara. dan sebuah serambi menghadap jalanan.

di serambi kami lihat bintang jatuh. ia bergumam: " Tuhan, sebutkan keinginanMu". lalu tercenung. jalan membuka tangannnya. pelabuhan bak riak api di kejauhan. di terangi cahaya jingga keemasan. kerajaan tiang kapal bergetar dalam kabut. pintu-pintu gaib membentuk pijar segitiga, berjajar di hutan mangrove yang mengental.

waktu berjalan lambat, seperti sinar fosfor mata kucing. dia menyala di kegelapan sebelum angin darat mengunci gerahamnya. ia bermimpi. ia menggigil. dan ia menggeram. ia melihat noda malam pada tiap titik embun. kristal pucat pantulkan wajah-wajah basi. lalu ia berbicara tentang orang-orang lelah. ia bilang: "ada saatnya kebenaran muncul. kemarin kubersua belulang tersedu itu".

dan kemudian "kini ia terduduk di sampingku." bayangan kami terekam kaca basah bergaram. kami pandang lautan. kami coba mencari kata-kata yang hilang. berpelukan sementara pikiran. jelajah belantara asing. kurapatkan tubuhku agar dapat kucium aroma keringatnya yang kurindu sekian lama. tapi usia membuat jarak percakapan. ada yang hilang. ada yang tersesat. ada yang pergi merangkak dengan beban berat. di depan kata-kata mandul. sia-sia memaknai malam tandus. malam yang seret sunyi senyap dari kedalaman sunyi yang lain. seperti nyanyian ilalang yang sambut malam. dengan upacara sederhana. burung-burung hantu berparuh tajam. ia akan pergi. kata-kata membutuhkannya. melebihi hasratku kepadanya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine