Makan Siang Bernama Tayangan Berita Kriminal

| Desember 30, 2008 | Sunting
Seorang copet digebuki massa…PSK tewas tenggelam di kejar-kejar polisi… Seorang ibu bunuh diri karena beban ekonomi…Polisi menggerebek judi togel… 
Salah satu program berita kriminal
Hampir setiap hari kabar kriminal di atas menjadi menu utama stasiun-stasiun televisi swasta kita. Berbagai macam berita “panas” ditayangkan seperti kasus pembunuhan, pemerasan, pencopet yang ditembak polisi, orang bunuh diri, pencurian sepeda motor, penggerebekan narkoba atau razia PSK di losmen-losmen kecil. Namun dibalik beragamnya modus kejahatan yang diberitakan, ada satu kesamaan fakta yaitu bahwa televisi hanya menayangkan tindak kriminalitas yang baik pelaku dan korbannya kebanyakan adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, pengangguran atau mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Lokasi kejadian juga identik dengan keberadaan masyarakat kelas bawah, seperti perkampungan kumuh di kota-kota besar, lokalisasi, terminal, atau desa-desa miskin di pedalaman.

Program acara jenis ini pernah menjadi kontroversi karena dianggap berpotensi dalam menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Ada pendapat dimana tayangan kriminal di media massa – cetak atau elektronik- tayangan jenis ini justru akan menimbulkan keresahan psikologis masyarakat. Tayangan tersebut juga dinilai sebagai bukti bahwa media telah menyimpang dari fungsi idealnya yang salah satunya adalah berperan besar bagi terciptanya masyarakat beradab (civil society) karena media adalah sumber informasi dan gagasan yang bermakna bagi masyarakat.

Mereka yang sering diberitakan dalam berita kriminal seringkali adalah mereka yang termasuk dalam kelompok-kelompok masyarakat yang sering disebut kaum marginal, yaitu mereka yang secara sistematis tersubordinasi oleh sistem. Mereka tidak punya akses atas kehidupan yang lebih layak (pekerjaan, tempat tinggal, pendidikan, partisipasi politik) sebagai akibat dari struktur sosial yang sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang berkuasa demi mempertahankan kepentingan dan kemapanan mereka sendiri.

Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah anak jalanan, petani miskin, buruh, nelayan kecil, kaum miskin kota, PSK, dan pengangguran, penyandang cacat. Di Indonesia, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi awal 1997 sampai saat ini di mana kondisi politik dan ekonomi masih belum stabil, warga negara yang termasuk dalam kategori kaum marginal semakin bertambah. Saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan sebanyak 45 juta jiwa dan angka pengangguran mencapai 12 juta orang.

Selain tayangan televisi, banyak surat kabar yang mengambil segmen khusus berita kriminal. Yang muncul dalam berita itu tentu kasus-kasus kelas teri seperti pencurian, pemerasan dan pencopetan, ditambah dengan pemuatan judul bombastis dan foto pelaku atau korban tindak kriminal.

Namun bukannya dibantu untuk mendapatkan akses atas ekonomi politik sosial dan budaya (Ekosob) yang menjadi hak asasi mereka, kaum marginal seakan semakin dipojokkan oleh struktur sosial yang memperlakukan mereka sebagai warga kelas dua. Salah satunya adalah melalui tayangan berita kriminal di televisi atau koran kuning yang ikut memberi gambaran bahwa kaum marginal adalah bukan bagian dari kelompok masyarakat kebanyakan.

Lee Loevinger (1968) mengemukakan teori komunikasi yang disebutnya sebagai “reflective-projective theory”. Teori ini beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra yang ambigu menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam, sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra khalayak, dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa.

Jadi pendapat Leo Loevinger tersebut benar karena berbagai tayangan kriminal di televisi dan di koran secara tidak langsung menjustifikasi mereka yang termasuk dalam kaum marginal adalah mereka yang sering membuat onar dan aksi kriminal di lingkungan masyarakat. Muncul persepsi dan stigma yang kuat bahwa kaum marginal identik dengan tindak kekerasan, perampokan, penodongan, pencabulan, pencurian atau pembunuhan.

Bahkan pelecehan martabat kemanusiaan itu juga dilakukan sampai detail. Dalam tayangan televisi, kaidah jurnalisme yang seharusnya melindungi privasi dan kerahasiaan identitas pelaku kejahatan juga dilanggar. Tanpa mengenal “belas kasihan”, kamera televisi tidak hanya mengejar dan menambil gambar pelaku, tetapi juga ekspresi ketidakberdayaan keluarga korban, bahkan juga sudut-sudut rumah yang merupakan ruang privat seseorang. Beberapa diantara para pelaku kemudian seperti dipaksa untuk menjawab pertanyaan dari para wartawan dengan dibantu aparat keamanan, bahkan ketika pelaku sudah tidak berdaya akibat amukan massa atau secara psikologis merasa malu pada publik.

Nurani dan nilai kemanusiaan dikalahkan oleh kepentingan pasar, baik itu rating di media elektronik, atau kenaikan tiras di media cetak. Inilah ironi yang saat ini ditampilkan oleh media massa kita yang semakin hari semakin memperlihatkan ketidakberpihakannya pada kaum marginal lewat tayangan pemberitaan masing-masing.

Dan dasar nasib mereka yang sudah kalah, televisi jarang memberitakan motif dan penyebab suatu tindakan kriminal tidak digali secara mendalam. Maka asumsi yang tertanam dalam benak publik kemudian adalah bahwa tindakan kriminal tersebut dilakukan semata akibat dorongan sifat dan jahat pelaku saja. Misalnya pemberitaan seorang pemulung kecil mencuri tape recorder karena tidak punya uang, seorang pengamen membunuh temannya karena kesal diejek, atau seorang lelaki yang bunuh diri. Tidak ada tayangan yang menampilkan sisi pemberitaan yang mengungkap bagaimana anak kecil tersebut bisa menjadi pemulung, bagaimana susahnya lapangan kerja membuat pemuda tersebut terpaksa mengamen, atau bagaimana kemiskinan memaksa seseorang nekad mengakhiri hidupnya.

Kondisi yang berbeda nampak dari cara media memperlakukan dengan istimewa terhadap pelaku kejahatan kerah putih. Jika seorang pejabat melakukan tindak pidana korupsi, media seakan berpihak dengan model pemberitaan yang mengesankan bahwa kasus itu bukanlah kejahatan kriminal yang meresahkan. Televisi menggelar dialog atau mewawancarai pelaku korupsi atau pengacara mereka yang ujung-ujungnnya menempatkan pelaku tindak pidana kerah putih mempunyai status sosial lebih tinggi, lengkap dengan para pakar yang berkomentar baik pro atau kontra, sehingga muncul kesan pejabat tersebut tidak sepenuhnya bersalah.

Hanya karena kepentingan nilai jual, format tayangan atau berita kriminal yang ada di televisi atau surat kabar kita secara tidak langsung telah membuat kaum marginal sebagai kelompok warga yang harus dicurigai dan diwaspadai karena setiap saat bisa merugikan warga lain yang secara status sosial lebih mapan. Dampak yang lebih besar adalah semakin sulitnya kaum marginal untuk mendapatkan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, administrasi dan lain sebagainya.

Meski demikian, tayangan berita kriminal tersebut menjadi tayangan yang cukup digemari masyarakat kita saat menanti makan siang atau menunggu antrian di bank atau di bandara. Jadi, jayalah pemilik televisi, pemilik koran, dan terimalah nasibmu wahai para kaum miskin, pencopet, dan warga pemukiman kumuh

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine