Puisi Penantian

| Desember 14, 2008 | Sunting


untuk seseorang
yang bertapa di
dalam sunyinya
senja di rinjani,
cerlang cahaya
adalah layaknya
cerlang namany
dalam kalbuku

kini aku tengah
menantimu, yah
menantikanmu,
mengejang pada
kembang randu
alas mentaok di
paripurna musim
yang sudah mulai
gundul itu
berapa purnama
saja menguncup
dalam diriku dan
kemudian luruh
yang telah hati-
hati kucatat, tapi
diam-diam telah
terlepas
awan-awan kecil
perlahan mereka
berderak lintasi
jembatan kusam
itu, yah kumasih
menantikanmu
untuk segera
hengkang dari
tapamu, musim
tlah mengembun

di antara batang
bulu bulu mataku
kumendengar
berulang suara
glombang udara
memecah nafsu
dan gairah demi
telanjang di sini,
ribuan bintang
gemintang cemas

telah rontoklah
sekian kemarau
yang tipis, namun
mendadak sunyi.
dan, kemudian di
dalam riuh bunga
randu alas dan
pudup kembang
turi merah aku
pun menanti

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine