Nostalgia

| Desember 24, 2008 | Sunting
Antrean panjang pembelian minyak tanah
Bagaimanapun minyak tanah belum bisa lepas sepenuhnya dari kebutuhan masyarakat Indonesia, ia akan senantiasa dibutuhkan dalam situasi tertentu... Karena masih banyak yang masih bergantung sepenuhnya pada salah satu komoditas migas ini. 

Kalau listrik padam dan lampu mati, masih banyak juga mereka yang membutuhkan pasokan minyak tanah pada lampu teplok. Karena bila kegelapan mulai melanda saat listrik padam, lampu teplok kadang hadir sebagai dewa penyelamat untuk memberikan cahaya penerang...

Lalu darimana sumber bahan bakar lampu darurat itu kalau bukan dari minyak tanah. Lantas apakah dengan semakin tipisnya distribusi minyak tanah juga ikut membuat lampu teplok, petromaks dan lain-lain akan menjadi barang langka dan layak untuk dimuseumkan.. Oh itu semua hanya waktu yang mampu menjawabnya....

Dialah cahaya penerang waktu listrik belum masuk di Jogja dahulu.... Menjadi cahaya penerang saat senja datang dan petang menjelang. Menjadi teman membaca buku pelajaran menggambar waktu TK. Menjadi saksi saat mata mulai mengatup membawaku ke alam mimpi. Dan tahun 85-an saat itu listrik mulai menjamah dan menyambangi Jogja maka perlahan-lahan ia pun semakin tergusur...

 Maka seiring bergulirnya waktu ia pun telah tergantikan oleh pancaran sinar bola lampu yang berpijar akibat arus yang mengalirinya, dan lampu teplok dan petromaks hanya menjadi semacam 'ban serep'. Kala-kala diperlukan saja ia memfungsikan dirinya....

Kalau dulu cahaya lampu teplok serta pancaran sinar petromaks ini menjadi senjata utama saat malam datang, selain cahaya alami dari bulan purnama yang terasa amat sangat terang waktu pada masa itu. Hahaha.. Sangat jauh dengan kondisi sekarang ini, dimana sinarnya tak lebih terang dari lampu pijar 5 Watt... 

Bulan bulat penuh
Bermain-main dengan teman sebaya di bawah sinar bulan purnama adalah suatu anugerah yang tak terkira. Bergerak riang kesana kemari. Berlarian, berkejaran... Kami bisa berteriak-teriak seolah tidak ada makhluk lain selain kami. Oh, tidak seperti sekarang seolah kita telah terhipnotis untuk duduk manis di hadapan monitor, entah monitor televisi ataupun komputer...

Sekarang semakin sulit menemui anak-anak kecil yang bermain gobak sodor, lompat tali, betengan, petak umpet dan aneka macam permainan tradisional lainnya saat bulan menampakkan wajahnya di langit malam. Semakin jarang pula orang-orang yang berkumpul bersama bercerita dan menghabiskan malam walaupun hanya sekedar duduk-duduk omong-omong kosong memandangi kerlip bintang dan cahya rembulan. Modernitas membuat aspek manusia sosial kita semakin luntur... Mungkinkah?

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine